Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta Tenggelam

Kompas.com - 18/09/2010, 03:06 WIB

A SONNY KERAF

Ide pemindahan ibu kota yang kami lontarkan (Kompas, 28/7) untuk mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya telah ramai ditanggapi banyak pihak. Entah merespons ide tersebut atau tidak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun melontarkan ide untuk mengkaji kemungkinan pemindahan pusat pemerintahan.

Sebaliknya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa ahli transportasi dan perkotaan cenderung berkeberatan. Alasannya adalah biaya.

Memang betul, pemindahan ibu kota atau pusat pemerintahan membutuhkan biaya sangat besar. Akan tetapi, alangkah lebih baik jika dikaji dulu secara holistik dan komprehensif. Banyak sekali aspek yang harus dipertimbangkan dan dihitung betul, tidak hanya aspek teknis-ekonomis, tapi juga sosial, politik, dan nasib manusia serta citra ibu kota negara sebagai representasi NKRI.

Dari sekian banyak aspek itu, yang perlu diperhatikan hanya tiga aspek, yang mudah-mudahan menjadi pertimbangan tim yang ditugasi Presiden untuk itu.

Batas toleransi

Aspek paling fundamental adalah setiap kota atau lokasi ekologis mana pun secara alamiah mempunyai batas toleransi pengembangan dan pembangunan. Itulah yang dalam bahasa teknis ekologis disebut sebagai daya tampung dan daya dukung lingkungan. Betul bahwa dengan teknologi modern kita bisa merekayasa pembangunan sedemikian rupa sehingga bisa mengatasi kemampuan daya dukung dan daya tampung sebuah kota. Namun, pada akhirnya ada batas alamiah yang tidak bisa dilampaui. Kalau dilanggar, maka alam dan lingkungan akan bereaksi secara teknis fisik maupun sosial.

Analoginya adalah kapal. Setiap kapal punya tonase sebagai standar batas daya angkut kapal. Begitu dilampaui, cepat atau lambat kapal akan tenggelam.

Ide membenahi transportasi dan menyiasati pembangunan Jakarta dan sekitarnya bagaikan memaksa kapal Jakarta terus membawa muatan melebihi tonase. Bisa dipastikan, cepat atau lambat Jakarta akan tenggelam.

Ternyata, hari Kamis (16/9) isyarat reaksi alamiah telah terlampauinya daya dukung dan daya tampung Jakarta terbukti. Jalan RE Martadinata di Jakarta Utara ambles sedalam 7 meter pada ruas sepanjang 103 meter dengan lebar 4 meter. Kendati berlebihan, ini bisa menjadi isyarat bahwa Jakarta sudah tidak layak lagi untuk dibebani pembangunan baru. Bukan tidak mungkin, dalam jangka menengah, apalagi jangka panjang—tanpa solusi radikal—Jakarta akan tenggelam.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau