Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siang Hari Pun Nyanyian Kodok itu Terdengar

Kompas.com - 18/09/2008, 06:25 WIB
Oleh KORNELIS KEWA AMA

ADONARA - Minggu, 10 Agustus 2008. Pada pukul 08.00 Wita, dibantu seorang warga Desa Demondei, Fritz Samon (10), saya berjalan kaki menempuh perjalanan 12 kilometer dari Desa Mewet di pesisir pantai menuju Demondei di atas ketinggian 1.009 meter dari permukaan laut. Demondei adalah salah satu desa terpencil di pedalaman Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Kami melintasi lima sungai. Air sungai itu sangat jernih dan dingin. Siang hari masih terdengar bunyi katak yang saling bersahutan di sekitar sungai. Sementara burung beterbangan sambil bernyanyi dari ranting yang satu ke ranting lain. Suasana ini benar-benar terasa asri.

Jalan setapak sepanjang 12 kilometer itu berkelok-kelok, terus menukik sepanjang punggung dan pinggang bukit-bukit kecil, lalu menuruni jurang terjal, melintasi sungai, dan melewati lembah.

Warga setempat menempuh jalan itu hanya dua jam sambil membawa beban 10-70 kg di kepala atau pundak. Jalannya begitu cepat meski mendaki. Jalan seperti itu sudah bertahun-tahun mereka lakukan. Warga dari luar desa, seperti Kupang, harus butuh 4,5 jam perjalanan.

Kelelahan begitu mengganggu perjalanan. Bagian betis dan pergelangan kaki seakan mau terlepas. Napas terengah-engah. Setiap lima langkah harus berhenti menarik napas dan mengumpulkan tenaga baru.

Akan tetapi, Fritz, bocah warga Demondei yang menjemput di pertigaan Mewet, berjalan dengan santai sambil bernyanyi. Padahal, ia membawa tas pakaian dan 5 kg beras sebagai bekal.

Sekitar 1,5 km menuju desa, perjalanan benar-benar menukik. Leher terus memanjang dengan kepala tegak memandang ke atas menyusuri punggung Gunung Ile Pati. Konon, pada waktu silam ada seorang warga pelarian dari Maluku bernama Pati menetap di gunung ini. Itulah kisahnya sehingga gunung tersebut bernama Ile Pati, artinya Gunung Pati. Pati kemudian menurunkan suku Bubun, salah satu suku yang mendiami Desa Demondei.

Di sisi kiri-kanan ruas jalan itu terdapat tumpukan kayu olahan milik pengusaha dari Waiwerang dan Larantuka. Kayu-kayu berkualitas sedang itu dirambah di Gunung Ile Pati untuk dijual ke Kupang atau Larantuka.

Pukul 12.30 Wita kami tiba di Demondei untuk mengikuti upacara adat Tuno Manuk, memanggil dan melindungi para perantau dari desa itu. Tampak di desa itu sudah ada beberapa wajah baru. Mereka adalah warga Demondei yang berdomisili di Kupang atau kota lain.

Setiap ada tamu baru, bocah-bocah di desa itu berdatangan. Mereka berdiri memadati pintu masuk rumah dan sebagian mengelilingi rumah sambil mengintip. Ketika disodori gula-gula, mereka saling berebutan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com