KOMPAS.com - Ketika berbicara mengenai penyakit jantung, banyak orang beranggapan bahwa pria lebih berisiko daripada wanita. Namun, data menunjukkan bahwa wanita ternyata lebih banyak yang mengidap penyakit jantung dibanding pria.
Dalam data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit jantung pada wanita mencapai 1,6 persen. Angka ini lebih besar dibandingkan prevalensi pada laki-laki yang "hanya" 1,3 persen.
Dokter Spesialis Dalam dan Konsultan Kardiovaskular Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr. dr. Sally Aman Nasution, Sp.PD, KKV, mengatakan bahwa kesenjangan ini dikarenakan gejala penyakit jantung pada wanita tidak sama dengan yang terjadi pada pria.
"Kenapa wanita lebih banyak terkena penyakit jantung? Itu karena gejalanya berbeda dibandingkan laki-laki, jadi lebih sulit didiagnosis dan diobati," kata Sally dalam sebuah acara bertajuk Waspadai Penyakit Jantung pada Wanita dari Philips, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Menurut Sally, justru gejala penyakit jantung pada wanita seringkali disalahartikan sebagai penyakit lain, seperti maag, sehingga banyak kasus penyakit jantung pada wanita menjadi tidak terdeteksi.
Tidak hanya itu, nyeri dada ataupun sesak napas yang identik pada para pria penderita penyakit jantung, cenderung tidak begitu dialami oleh wanita. Kalau pun wanita mengalami sesak napas atau nyeri dada, banyak dari mereka yang beranggapan bahwa gejala tersebut hanya sekadar akibat menstruasi dan lain sebagainya.
Penyakit jantung pada wanita sering kali muncul pada wanita yang sudah memasuki masa menopause atau lanjut usia.
Hal ini disebabkan oleh menurunnya hormon estrogen pada wanita. Padahal, hormon estrogen berfungsi untuk melindungi jantung dan membuatnya lebih kuat.
"Tapi kalau menopause, hormon estrogen itu berkurang, jadinya jantung yang harusnya terlindungi jadi rentan penyakit dan gangguan lainnya, apalagi plak di pembuluh darah juga semakin menumpuk," ujarnya.
Pada saat wanita sudah lanjut usia, maka beragam faktor risiko lainnya juga menjadi sangat sulit untuk dihindari. Oleh sebab itu, diakui Sally, dokter dan tim medis juga akan sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan, karena risikonya bukan hanya terkait persoalan jantung saja, tetapi juga bisa berakibat kepada organ yang rentan lainnya juga.
Selain faktor kadar estrogen, terdapat faktor risiko non tradisional atau tidak umum yang hanya dapat terjadi pada wanita, yaitu kehamilan.
Saat seorang wanita hamil, tubuhnya secara alami akan menyediakan darah dua kali lipat. Namun, jika sang ibu (wanita hamil) memiliki kelainan jantung bawaan atau pun menderita faktor risiko penyakit jantung seperti hipertensi atau diabetes, maka kemungkinan ibu mengalami gangguan jantung saat hamil akan meningkat.
“Hal ini karena kehamilan menyebabkan stres secara fisik pada tubuh ibu, akibatnya jantung akan dipaksa untuk bekerja lebih keras,” tuturnya.
Kedua penyakit penyerta yaitu hipertensi dan diabetes memang dikatakan menjadi hulu dari berbagai sumber penyakit. Begitu juga dengan penyakit jantung pada wanita.
Dijelaskan Sally, meskipun wanita muda (usia subur) cenderung jarang mengalami penyakit jantung. Namun, hal itu bisa terbantahkan jika wanita tersebut menderita hipertensi atau diabetes, serta autoimun.