KOMPAS.com - Salah satu harapan Presiden Joko Widodo bagi Indonesia adalah bisa keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah dan masuk dalam lima ekonomi besar dunia pada 2045. Hal ini diungkapkannya dalam pidato perdana di Sidang Paripurna pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024.
Terkait hal tersebut, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) merekomendasikan tiga kegiatan atau fokus utama dalam memanfaatkan kekayaan alam atau biodiversitas yang sebaiknya dijalankan oleh negara lewat buku Sains untuk Biodiversitas Indonesia.
Tiga rekomendasi tersebut adalah ekowisata, bioprospeksi untuk penemuan obat dan bioenergi, serta eksplorasi laut dalam yang dianggap dapat mengeluarkan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Baca juga: AIPI dan ALMI Luncurkan Buku Sains untuk Biodiversitas Indonesia
“Kekayaan biodiversitas Indonesia dianggap berpotensi besar sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional dan akan membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah,” kata ketua tim penulis buku, Profesor Jamaluddin Jompa, di acara bertajuk Sains di Medan Merdeka, Perpustakaan Nasional RI, Senin (11/11/2019).
Meskipun ketiga prioritas ini merupakan hasil kajian Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), namun diakui Jamaluddin bahwa ketiga prioritas investasi ini masih tetap memiliki tantangan dan potensi dampak ekonomi berbeda.
“Tiga prioritas investasi nasional yang kami rekomendasikan ini memiliki level tantangan dan kebutuhan investasi yang berbeda. Dan, itu mencerminkan sekaligus tergantung pada sejauh ambisi serta komitmen politik pengambil kebijakan," ujar Jamaluddin.
Indonesia, terutama di beberapa pulau yang ada, dikatakan Jamaluddin telah diakui dunia memiliki ragam spesies yang kharismatik dan eco-heritage.
Di negara lain, paket ekowisata telah menjadi sektor perekonomian dari kekayaan alam yang menjanjikan. Sementara di Indonesia sendiri, kegiatan ekowisata seperti ini sudah dirintis oleh pemerintah, namun belum benar-benar optimal, terutama karena masih minimnya dukungan sains dan teknologi.
“Spesies endemik dan kharismatik misalnya, hingga saat ini belum dikelola sebagai paket ekowisata dunia,” tuturnya.
Di samping komodo dan orangutan, kedua spesies yang telah menjadi ikon fauna nusantara; Indonesia masih memiliki babi rusa dan berbagai macam burung khas, seperti maleo.
Keunikan maleo dapat dikemas menarik, telur burung ini berukuran hingga lima kali lipat telur ayam dan sama besarnya dengan tubuh induknya.
Baca juga: AIPI Berikan Rekomendasi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Indonesia
Seluk-beluk maleo ini dan upaya konservasi spesies kharismatik dengan pendekatan sains dan teknologi, dapat menarik segmen khusus wisatawan pecinta sains serta lingkungan.
"China adalah contoh negara yang sukses mengembangkan dan memperkenalkan spesies kharismatiknya untuk mengangkat ekowisata mereka, yaitu panda, melalui pendekatan sains dan konservasi. Kita seharusnya dapat melakukan hal serupa mengingat spesies kharismatik kita jauh lebih banyak dan unik," ucap Jamaluddin.
Kegiatan ekowisata juga dapat mengangkat potensi eco-heritage kita yang sangat besar.
Kekayaan biodiversitas kita menginspirasi terobosan besar ilmu pengetahuan dunia melalui magnum opus dan temuan ilmuwan-ilmuwan besar, seperti Alfred Russel Wallace dengan teori evolusi, Franz Junghuhn merintis aklimatisasi tanaman, dan Eugene Dubois menemukan fosil Homo erectus di Sangiran.