Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Viral Layangan Putus, Kok Netizen Merisak Orang yang Dicurigai Pelakor?

Kompas.com - 06/11/2019, 19:34 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Dalam beberapa hari belakangan, kisah Layangan Putus viral di media sosial.

Layangan putus menceritakan seorang istri dengan empat orang anak yang ditelantarkan suami demi perempuan lain.

Banyak warganet yang bersimpati atas kisah Layangan Putus, berkomentar, dan membagikan ulang utas tersebut.

Warganet tidak hanya bersimpati, tapi ada yang sampai mencaci maki sang suami dan perempuan yang dicurigai sebagai pelakor dalam kisah tersebut.

Baca juga: Viral Layangan Putus, Kenapa Orang Jadi Emosi Baca Kisah Ini?

Dalam artikel sebelumnya dijelaskan, emosi bisa muncul setelah membaca kisah Layangan Putus karena seseorang memiliki pengalaman serupa.

"Kenapa itu bisa menggugah, kisah (Layangan Putus) mungkin dekat dengan apa yang pernah mereka alami atau yang dialami sama orang terdekat (pembaca)," kata Pingkan Rumondor, psikolog klinis dewasa yang ahli di bidang hubungan relationship, keluarga, dan pernikahan itu.

"Jadi ketika ada situasi yang mirip, otak kita akan bekerja (dan) mengingatkan pada perasaan yang mirip juga yang pernah kita alami," imbuh Pingkan dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (6/11/2019).

Simpati yang muncul kemudian dapat menyulut emosi pembaca - entah marah, kecewa, atau sedih - dan akhirnya disampaikan melalui komentar-komentar, termasuk komentar jahat yang dapat melukai hati.

Komentar jahat yang sampai melukai hati seseorang, sebenarnya masuk dalam kategori cyberbullying.

Lantas, kenapa warganet sampai merisak seseorang, padahal kebenarannya pun belum jelas?

Emosi pada kisah Layangan Putus wajar

Pingkan kembali mengatakan, emosi setelah membaca cerita seperti Layangan Putus adalah sesuatu yang wajar.

Namun, emosi itu sebenarnya tidak harus diungkapkan menjadi sebuah komentar jahat, tapi bisa diregulasi diri atau kemampuan untuk mengontrol perilaku sendiri.

"Misalnya merasa takut atau marah, kemudian (tanya ke diri sendiri) kenapa ya kok saya ikutan marah. Yang baik itu gitu, menganalisa diri sendiri dan merefleksikan ke diri sendiri," kata Pingkan yang juga mengajar di Universitas Bina Nusantara itu.

"Apa sih artinya cerita ini buat saya. Apakah (cerita) ini mengingatkan saya pada pengalaman atau ini adalah bentuk kekhawatiran saya yang sebenarnya saya enggak suka tapi karena ada yang menceritakan itu, jadi khawatir lagi," ujarnya memberi contoh.

Warganet yang bersikap merefleksikan diri dengan berbagai pertanyaan disebut Pingkan sudah mengambil sikap yang tepat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com