Oleh Susilo Wibisono
DEMONSTRASI mahasiswa dan pelajar yang berlangsung beberapa waktu belakangan sempat direspons dengan pendekatan represif oleh aparat keamanan.
Aksi unjuk rasa yang berlangsung kemarin di Jakarta dikabarkan berakhir ricuh dan polisi harus menembakkan gas air mata.
Akibat tindakan represif polisi, dua mahasiswa tewas ketika melakukan berunjuk rasa di Kendari, Sulawesi Tenggara, minggu lalu.
Salah satu bentuk represi juga ditunjukkan lewat ancaman Menteri Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir terhadap rektor yang membiarkan mahasiswanya bergabung dalam aksi protes.
Meskipun ada klarifikasi kemudian yang menyatakan bahwa tidak ada rektor yang dikenai sanksi, tapi kesan bahwa aparat negara menghadapi aksi protes dengan pendekatan represif telah ditangkap oleh publik.
Kajian psikologi sosial tentang tindakan kolektif menunjukkan bahwa pendekatan represif ini tidak efektif. Alih-alih menghentikan aksi demonstrasi, penggunaan kekerasan justru akan mendorong aksi-aksi tersebut semakin berkelanjutan.
Tindakan represif mengacu pada pendekatan yang mengedepankan kekuasaan dengan mengancam, menekan bahkan melukai pihak lain. Pendekatan ini seringkali dipilih oleh otoritas dalam menghentikan berbagai aksi protes atau demonstrasi.
Munculnya narasi-narasi represif maupun tindak kekerasan fisik aparat negara dapat meningkatkan persepsi atas risiko bagi para peserta aksi.. Situasi represif yang mengarahkan pada meningkatnya persepsi atas risiko ini juga diikuti dengan meningkatnya rasa tertindas dan juga perasaan takut..
Dari sudut pandang aparat, rasa takut inilah yang diharapkan mampu menghentikan intensi untuk berpartisipasi dalam aksi protes berikutnya.
Namun, tindakan represif juga mampu menguatkan bangunan identitas para demonstran. Pengalaman bersama mengalami penindasan akan meningkatkan ikatan kekeluargaan antarpeserta protes.
Ikatan antarsesama peserta aksi yang sebelumnya tidak terbangun secara kuat akan semakin menguat seiring dengan meningkatnya pengalaman tertindas yang dirasakan bersama-sama sebagai akibat pendekatan represif aparat.
Pengalaman ini juga mampu meningkatkan perasaan melebur terhadap sesama pelaku aksi. Sederhananya, ikatan yang sebelumnya hanya didasari oleh kesamaan tuntutan misalnya, berubah menjadi ikatan yang dapat digambarkan melalui ikatan keluarga.
Hal ini dibenarkan oleh ahli antropologi kognitif Harvey Whitehouse melalui kajiannya terhadap garda depan pasukan revolusioner Libya. Seiring dengan meningkatnya penderitaan yang dirasakan bersama-sama di medan tempur, ikatan kekeluargaan yang kuat tumbuh di antara mereka.
Ikatan ini mampu memunculkan agensi personal individu atas kelompoknya, yaitu adanya dorongan yang kuat dari setiap individu di dalam kelompok untuk melakukan sesuatu yang lebih untuk kelompoknya.