KOMPAS.com - Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Rangkong Gading Indonesia merupakan kebijakan Kehutanan nomor: P.57/Menhut-II/2008 yang isinya arahan strategis konservasi spesies nasional kelompok enggang atau rangkong dikategorikan sebagai satwa prioritas tinggi di antara kelompok enggang.
Terutama rangkong gading dengan nama latin Rhinoplax vigil, merupakan spesies prioritas di antara kelompok enggang tersebut.
Rangkong gading disebut spesies prioritas untuk konservasi karena statusnya yang makin terancam punah.
Berdasar data daftar merah IUCN, mulanya rangkong gading berstatus terancam punah (near threatened), tapi pada 2015 status itu berubah menjadi kritis (critically endangered).
Oleh sebab itulah SRAK digalakkan dan bakal menjadi satu langkah atau status konservasi terakhir sebelum punah (extint).
Baca juga: Rangkong Gading, Maskot dari Kalimantan Barat dan 7 Fakta Unik Lainnya
Yokyok Hadiprakarsa dari Rangkong Indonesia International Hemeted Hombill Conservation Society menyatakan, banyak sekali persoalan yang menyebabkan Rangkong Gading Indonesia ini menjadi berstatus kritis tersebut.
Dari fakta bioekologinya, burung yang satu ini berbiak lambat dalam satu siklus. Mereka hanya akan menghasilkan 3 butir telur sekali bereproduksi. Ini lain dengan unggas pada umumnya yang menghasilkan telur banyak dan konsisten.
Habitat rangkong juga sangat spesifik, yaitu berada di bagian atas tunjang pohon yang memiliki lubang. Rangkong ini tidak akan membuat lubang sendiri, melainkan menggunakan lubang alami yang ada di pepohonan dengan tinggi minimal 5 meter.
Dari fakta nilai budaya, rangkong gading memiliki historis yang tinggi dengan nilai budaya adat.
Dahulunya, penggunaan aksesori dari rangkong gading merupakan lambang keberanian, kepemimpinan, dan pelindung. Oleh karena itu biasanya digunakan oleh para pendekar.
Namun, para pendekar tersebut menggunakan aksesoris yang dibuat dari rangkong yang telah mati, dan mereka harus mencarinya sendiri di dalam hutan.
"Ya kalau dulu mereka (pendekar di sana) pakai asesorisnya itu nyari sendiri di hutan, kalau ada rangkong yang sudah mati, mereka dilarang untuk mengambil dengan berburu," jelas Yokyok.
Namun, dikatakan Yokyok bahwa sudah terjadi pergeseran nialai kebudayaan tersebut. Banyak orang merasa tertarik untuk mengkoleksi dan atau melakukan jual-beli terhadap aksesoris dari rangkong gading tersebut.
Harga yang tinggi (jutaan rupiah) dan didukung oleh kebutuhan serta belum tegasnya peraturan pemerintah mengenai rangkong gading menjadikan, para pemburu dengan ilegalnya meraup keuntungan dari alam sewenang-wenang.
Hasil perburuan bahkan di komersialisasikan dan dilelang secara dalam bentuk bervariasi, seperti cincin, gelang, ukiran, helai ekor burung dan lainnya, yang terbuat dari paruh dan bulu ekor.