Terutama rangkong gading dengan nama latin Rhinoplax vigil, merupakan spesies prioritas di antara kelompok enggang tersebut.
Rangkong gading disebut spesies prioritas untuk konservasi karena statusnya yang makin terancam punah.
Berdasar data daftar merah IUCN, mulanya rangkong gading berstatus terancam punah (near threatened), tapi pada 2015 status itu berubah menjadi kritis (critically endangered).
Oleh sebab itulah SRAK digalakkan dan bakal menjadi satu langkah atau status konservasi terakhir sebelum punah (extint).
Yokyok Hadiprakarsa dari Rangkong Indonesia International Hemeted Hombill Conservation Society menyatakan, banyak sekali persoalan yang menyebabkan Rangkong Gading Indonesia ini menjadi berstatus kritis tersebut.
Dari fakta bioekologinya, burung yang satu ini berbiak lambat dalam satu siklus. Mereka hanya akan menghasilkan 3 butir telur sekali bereproduksi. Ini lain dengan unggas pada umumnya yang menghasilkan telur banyak dan konsisten.
Habitat rangkong juga sangat spesifik, yaitu berada di bagian atas tunjang pohon yang memiliki lubang. Rangkong ini tidak akan membuat lubang sendiri, melainkan menggunakan lubang alami yang ada di pepohonan dengan tinggi minimal 5 meter.
Dari fakta nilai budaya, rangkong gading memiliki historis yang tinggi dengan nilai budaya adat.
Dahulunya, penggunaan aksesori dari rangkong gading merupakan lambang keberanian, kepemimpinan, dan pelindung. Oleh karena itu biasanya digunakan oleh para pendekar.
Namun, para pendekar tersebut menggunakan aksesoris yang dibuat dari rangkong yang telah mati, dan mereka harus mencarinya sendiri di dalam hutan.
"Ya kalau dulu mereka (pendekar di sana) pakai asesorisnya itu nyari sendiri di hutan, kalau ada rangkong yang sudah mati, mereka dilarang untuk mengambil dengan berburu," jelas Yokyok.
Namun, dikatakan Yokyok bahwa sudah terjadi pergeseran nialai kebudayaan tersebut. Banyak orang merasa tertarik untuk mengkoleksi dan atau melakukan jual-beli terhadap aksesoris dari rangkong gading tersebut.
Harga yang tinggi (jutaan rupiah) dan didukung oleh kebutuhan serta belum tegasnya peraturan pemerintah mengenai rangkong gading menjadikan, para pemburu dengan ilegalnya meraup keuntungan dari alam sewenang-wenang.
Hasil perburuan bahkan di komersialisasikan dan dilelang secara dalam bentuk bervariasi, seperti cincin, gelang, ukiran, helai ekor burung dan lainnya, yang terbuat dari paruh dan bulu ekor.
"Bahkan pernah ada yang tertangkap membuat tasbih dari paruh rangkong gading, malah ada yang membuat sertifikatnya, ini tidak habis dipikir ini ada sertifikat untuk asesoris dari Rangkong Gading".
Penjualan aksesoris dari rangkong gading ini paling banyak bermuara di Tiongkok, China.
Dalam tahun 2012-2017 telah ditemukan sekitar 2.800 paruh rangkong gading yang berada dipasaran gelap. Potensi kerugian yang dialami mencapai 8,4 juta Dollar AS.
Kebanyakan pemburu ilegal melakukan perburuan secara lokal dan terorganisir serta kebanyakan menggunakan senapan angin dan rakitan.
Fakta di lapangan yang dialami oleh Yokyok dan tim saat mencoba melakukan penelitian terhadap rangkong gading juga cukup kesulitan melihat ataupun mendengar suara khas mereka.
Menurut Yokyok, butuh waktu yang lama dan lebih ke dalam hutan untuk bisa bertemu dengan rengkong gading.
SRAK rangkong gading
SRAK rangkong gading Indonesia tahun 2018-2028, akan melakukan berbagai hal seperti penelitian berkelanjutan.
Diakui Yokyok kenapa rangkong gading ini bisa sangat terancam punah, karena memang masih sangat minim informasi dan konservasi yang dilakukan.
"Juga malah belum ada penelitian ilmiah tentang rangkong gading ini, (bahkan) di Indonesia sendiri, habitat asalnya," ujar dia.
Maka dari itu target utama yang dilakukan ialah meningkatkan kesadaran masyarakat dengan tujuan meningkatkan minat penelitian tentang rangkong gading, selanjutnya meningkatkan pemahaman mengenai konservasi rangkong gading tersebut.
Selanjutnya, mengkampanyekan penyadartahuan mengenai rangkong gading tersebut, melakukan penegakan hukum dengan baik, berusaha mengelola dan meningkatkan kapasitas habitat alam rangkong gading, serta berkolaborasi dengan berbagai pihak.
Berbagai hal yang akan dilakukan Yokyok dan dibantu oleh pihak-pihak lainnya, selain upaya konservasi, mereka juga akan melakukan survei populasi dan okupasi, survei persepsi masyarakat.
"Yang jelas untuk melakukan ini bukan hanya komunitas atau lembaga swasta saja, tetapi peran pemerintah juga harus ambil bagian menyelamatkan hewan yang terancam punah ini," kata dia.
Sementara masih menurut Yokyok, pada umumnya SRAK tentang rangkong yang dikeluarkan oleh kementerian kehutanan itu masih bersifat umum nasional atau pusat saja cakupannya.
Kita perlu adanya penerjemah dalam artian untuk menjadikan SRAK yang formatif nasional itu bisa di aplikasikan pada daerah di bawahnya.
"SRAK yang sekala nasional itu, untuk satwa apa saja biasanya fromatif umum, sementara masyarakat di lini bawah dalam kali ini daerah Suku Dayak atau Pakpak tidak mengerti karena tidak spesifik kasusnya," imbuh dia.
Maksudnya ialah SRAK Rangkong yang dibuat hanyalah untuk rangkong dengan jumlah 13 jenis atau spesies.
Sementara daerah Suku Dayak atau Pakpak di sekitar taman nasional (Kalimantan Barat) yang mana menjadi habitat asal Rangkong Gading banyak tidak mengerti atau paham dengan arahan SRAK rangkong nasional.
https://sains.kompas.com/read/2019/08/30/103100923/rangkong-gading-berstatus-kritis-konservasi-harus-dipahami-semua-kalangan