SURAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa waktu yang lalu, nama YouTuber Kimi Hime menjadi perbincangan di masyarakat. Hal ini menyusul tiga video miliknya terkena suspend atau dihapus oleh pihak YouTube atas permintaan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Ketiga video milik Kimi Hime itu dianggap terlalu vulgar oleh Kominfo.
Kevulgaran tersebut dinilai bukan dari penampilan Kimi Hime yang memang dujuluki warganet sebagai gamer seksi. Selain sering berpakaian minim dalam video-nya, Kimi juga kerap menggunakan kalimat dengan arti ambigu dalam thumbnail buatannya.
Kalimat-kalimat ambigu inilah yang menjadi salah satu sorotan Kominfo. Pendapat serupa juga diutarakan oleh Sri Kusumo Habsari, pengajar gender dan kajian budaya di Universitas Sebelas Maret (UNS).
Baca juga: 4 Fakta Terbaru Masalah Video Kimi Hime dengan Kominfo
"Kalau saya buka kemarin sekilas untuk baju tidak terlalu dipermasalahkan. Tapi, konotasi seksual yang kuat karena dia menggunakan kalimat, yang notabene, seperti coitus (hubungan intim)," ungkap Habsari saat ditemui Kompas.com, Senin (29/07/2019).
Habsari menilai bahwa kalimat yang digunakan Kimi Hime inilah yang menjadi permasalahan.
"Karena memang ketika saya dengarkan saya terganggu. Saya paham, (kalimat-kalimat Kimi Hime) tidak lepas dari hubungan seksual yang diutarakan secara verbal," kata Habsari.
"Verbalnya terlalu terbuka. Padahal, maksud dia tidak mengarah ke situ tapi kenapa memilih ekspresi-ekspresi bahasa yang notabene akan ditangkap sebagai konotasi seksual," imbuhnya.
Dosen kajian budaya dan gender itu menuturkan bahwa konotasi yang diungkapkan oleh Kimi Hime tersebut terlalu verbal sehingga dianggap mengganggu orang.
"Bahkan dikhawatirkan, seperti yang saya katakan, ini negara piye (bagaimana) tanggung jawabnya untuk generasi muda," kata Habsari.
"Nampak sekali bahwa ada pergeseran masyarakat yang notabene menjadi individualis," tambahnya.
Perempuan yang sempat menempuh pendidikan di Australia itu menyebut, generasi muda Indonesia saat ini mulai beralih menjadi masyarakat yang bersifat individualis.
"Mereka (generasi muda) tidak lagi memikirkan moralitas bangsa, bahwa kita punya tanggung jawab bersama terhadap lingkungan kita. 'Kalau saya menyebarkan konten harusnya konten itu katakanlah bisa diterima semua orang, tidak merusak moralitas'," tutur Habsari.
"Tapi yang mereka cari semacam popularitas. Jadi kan memang ada tips membuat media sosial itu populer, kalau tidak memberikan konten yang menakutkan, itu melanggar sesuatu yang tabu (berbau seks atau pornografi)," tegasnya.
Habsari menjelaskan, semakin kontroversial suatu konten maka akan semakin banyak ditonton masyarakat.