KOMPAS.com - Masih sedikit ahli tsunami dari Indonesia. Salah satu yang mumpuni di bidang ini adalah Widjo Kongko, Dr.-Ing.
Ketika Kompas.com menemui Widjo di Yogyakarta kemarin siang (28/7/2019), dia banyak bercerita tentang sejarah tsunami di Indonesia dan simulasi yang sedang dikerjakan untuk melihat potensi tsunami di masa depan.
Topik kedua ini memang menjadi isu yang selalu hangat dibicarakan. Bukan untuk membuat cemas, tapi agar kita mawas.
Mempelajari tentang tsunami, khususnya di Indonesia, adalah sebuah panggilan bagi Widjo.
Meski begitu, pria kelahiran Banyumas 1967 itu mengaku tidak pernah berencana ingin menjadi ahli tsunami. Semua mengalir seperti air. Sesuatu yang juga sangat disukainya.
Baca juga: Viral Potensi Tsunami Selatan Jawa, BNPB Minta Warga Ingat Rumus 20-20-20
"Dulu saya kuliah S1 di teknik sipil UGM, ambil hidro," kata Widjo mengawali ceritanya.
Bagi alumnus UGM yang menamatkan studi S1 pada 1992 ini, air merupakan hal menarik. Air bisa menjadi sumber kehidupan, tapi di sisi lain juga bisa menimbulkan bencana.
Dia sadar, hanya sedikit orang yang mau mendalami air, sejak dahulu. Salah satu alasannya karena rumus-rumus yang diterapkan dalam bidang ini lebih abstrak dan jauh lebih rumit.
"Berbeda dengan konstruksi membangun gedung, membuat meja, dan sebagainya. Ini semua kan nyata dan bisa dihitung. Sementara air, secara ilmu juga non linear dan harus dilakukan pendekatan lewat lab, model matematika, model fisika," ungkap Widjo.
Awalnya Widjo bekerja sebagai kontraktor dan baru aktif di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 1997.
Berangkat dari kesenangannya akan air, beberapa tahun kemudian Widjo mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan Master di Iwate University Jepang, tepatnya pada tahun 2000-2004.
Kala itu ada dua tawaran tesis yang menghampirinya. Pertama, mendalami tsunami atau pilihan kedua tentang megafloat.
Megafloat merupakan ilmu yang mempelajari pembangunan infrastruktur besar di laut. Misalnya, pembangunan landasan terbang atau bandara buatan di laut seperti punya Jepang.
"Di situ saya harus memilih. Karena S2 harus mendalam kan?" ujar Widjo.