KOMPAS.com – Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan akan akses internet yang konstan dan stabil boleh dianggap sebagai kebutuhan primer bagi masyarakat urban.
Hampir setiap saat kita selalu menyempatkan diri untuk mencari tahu informasi terkini, membuka media sosial, atau hanya sekedar iseng membaca status kenalan online kita.
Hal ini telah dianggap sebagai rutinitas harian, yang tidak lagi bisa terpisahkan dari jadwal aktivitas kita setiap harinya.
Hal ini dibuktikan dengan berita viral beberapa hari lalu tentang seorang anak yang mengamuk karena tidak ada akses internet di kampung orangtuanya.
Berita tersebut bisa jadi menyadarkan kita akan ketergantungan pada internet. Mungkin kita bisa saja tertawa melihat anak tersebut, namun bukankah kita juga akan merasa kesal dan jengah jika berada dalam posisi yang sama?
Baca juga: Penemuan yang Mengubah Dunia: Media Sosial, Kenapa Bikin Panik saat Diblokir?
Generasi internet
Saat ini, hampir seluruh kalangan masyarakat urban mengenal internet. Bagi orang yang lahir pada dekade 90-an hingga beberapa dekade awal abad ke-21, yang kerap diklasifikasikan sebagai generasi millenial dan gen Z, akses internet serta komunikasi online merupakan hal lumrah dan hampir tidak dapat dilepaskan dari fase kehidupan mereka.
Di sisi lain, bagi generasi yang lebih tua, perlahan mereka mulai beradaptasi dengan kehadiran internet dalam ruang kehidupan mereka.
Meski adaptasinya tidak secepat generasi muda, tentunya, terbukti dari berseliwerannya berita hoax dan misinformasi dengan mudah yang ditenggarai lebih banyak disebarkan oleh generasi ini.
Lewat internet, komunikasi seakan tanpa batas dan dapat berlangsung begitu cepat. Berbagai informasi dapat dengan mudah diakses kapanpun dan dimanapun, asalkan ada koneksi internet.
Sayangnya, hal ini juga membuat kita mudah merasakan kejenuhan, karena otak kita menerima informasi yang begitu banyak dalam kurun waktu yang singkat, sehingga kita tidak punya banyak waktu untuk mencerna dan memverifikasi isi informasi tersebut.
Digital dementia
Kondisi ini dapat mengurangi kemampuan kognitif yang dimiliki otak kita.
Manfred Spitzer, seorang neurosaintis asal Jerman, mengenalkan istilah digital dementia, yang menggambarkan penurunan daya pikir dan kemampuan kognitif seseorang akibat penggunaan teknologi digital dalam frekuensi tinggi.
Hal ini salah satunya diakibatkan oleh peningkatan frekuensi dan intensitas stress yang dialami seseorang akibat penerimaan informasi yang melimpah dari berbagai sumber. Kondisi ini dapat mempengaruhi kesehatan emosional dan fisik seseorang.