KOMPAS.com - Tim peneliti dunia membuat rekonstruksi tsunami Palu yang menerjang 8 bulan lalu. Uniknya, rekonstruksi tersebut dibuat dengan metode yang tidak biasa.
Adalah Jennifer Haase, ahli geofisika dari Scripps Institution of Oceanography di La Jolla, California yang memimpin penelitian ini.
Haase menegaskan, "Ini adalah contoh penting dari citizen science."
Citizen science yang dimaksud oleh Haase adalah data penelitian yang diambil langsung dari warga sekitar yang menyaksikan. Dalam hal ini, Haase mengambil data sosial media warga.
"Kami mulai melihat berbagai platform media sosial seperti Youtube, Twitter, Facebook, dan Instagram," ungkap Matias Carvajal, seismolog yang turut terlibat studi ini dikutip dari Nature, Kamis (16/05/2019).
Baca juga: Gempa Besar Sulteng, Bagaimana Sejarah Mencatat Tektonik dan Tsunami?
Tim ini kemudian menemukan 38 video amatir dan klip dari pusat pengawasan tsunami. Mereka juga kemudian menentukan lokasi pengambilan video pada peta lalu menyinkronkannya.
Hasilnya, tim berhasil melakukan rekonstruksi bagaimana tsunami 8 bulan lalu itu bergerak melalui Teluk Palu.
Rekonstruksi itu menunjukkan bahwa gelombang tsunami terjadi begitu cepat, hanya beberapa menit setelah guncangan gempa bumi. Selanjutnya, gelombang secara signifikan datang berturut-turut dalam waktu satu hingga 2 menit.
Carvajal menyebut, ini menunjukkan bahwa sumber (tsunami) itu dekat dengan pantai. Dengan kata lain, itu merupakan indikasi adanya longsoran dasar laut.
Hasil ini kemudian dipublikasikan oleh tim dalam jurnal Geophysical Research Letters1.
Ahli tsunami dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Purna Sulastya Putra mengatakan bahwa hasil itu menawarkan bukti signifikan yang mendukung gagasan adanya longsor dasar laut yang membuat gelombang di Palu tersebut sangat tinggi.
Sebagai informasi, prediksi awal tsunami di Teluk Palu hanya berupa gelombang kecil dengan ketinggian 0,5 meter. Namun, pada kenyataannya, gelombang yang menghantam Palu mencapai 2 meter.
Ditambah lagi, saksi mata mengungkapkan bahwa gelombang monster itu tiba hanya dalam beberapa menit setelah gempa terjadi. Padahal, menurut perkiraan, gelombang ini terjadi berselang puluhan menit dari gempa.
Baca juga: BMKG: Tsunami akibat Gempa Banggai Sulteng Diprediksi Kurang dari 0,5 Meter
Evaluasi bagi Indonesia
Dua hal ini menjadikan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendapat banyak kritik. Salah satunya perkara sistem peringatan dini tsunami.