Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Kekerasan Siswi SMP di Pontianak dari Kacamata Psikologi Remaja

Kompas.com - 15/04/2019, 17:18 WIB
Julio Subagio,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Dalam kurun waktu satu minggu belakangan, jagat maya di Indonesia dikejutkan oleh kasus perundungan terhadap AD, remaja 14 tahun di Pontianak, yang diduga dilakukan oleh sesama remaja.

Terlepas dari kontroversi yang kemudian muncul seiring perkembangannya, kasus ini menyadarkan khalayak bahwa isu remaja memerlukan perhatian dan prioritas lebih, khususnya di era digital.

Kasus AD bukanlah yang perundungan remaja pertama muncul ke permukaan.

“Berdasarkan studi yang kami lakukan, satu dari lima orang anak dengan usia 15-17 tahun mengalami perundungan, dan lebih banyak terjadi pada laki-laki,” papar Agustina Situmorang, peneliti tim remaja Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, dalam diskusi bertajuk “Ada Apa Dengan Remaja? Berkaca dari Kasus Perundungan di Era Digital” di Jakarta, Senin (15/4/2019).

Agustina mengulas bahwa mayoritas bentuk perundungan yang terjadi adalah pelecehan dengan perkataan yang berkonotasi seksual, serta hinaan terkait tampilan fisik atau wajah.

Perundungan merupakan kasus khusus terkait kenakalan remaja. Hal ini didorong oleh kurangnya kesadaran sosial dan empati, juga pengabaian atas konsekuensi jangka panjang dari tindakan dan keputusan yang diambil oleh remaja.

Baca juga: Inilah 5 Fase Perubahan Psikologis Saat Remaja Berubah Jadi Dewasa

“Remaja pada dasarnya adalah masa pencarian jati diri, atau periode pembangkangan, dimana sudah bukan anak-anak, tidak mau dianggap anak-anak, tapi belum matang secara psikologis. Remaja biasanya menjauh dari orang tua dan menunjukan eksistensi lewat kelompok sebaya, yang punya pengaruh kuat”, tambahnya.

Kelompok sebaya kemudian dapat menciptakan tekanan sosial dalam kehidupan remaja, yang luput dari perhatian orang tua.

Tembok antara Anak dan Orangtua

Seringkali orangtua merasa kewalahan dalam menghadapi anak. Perbedaan generasi, pola pikir, perspektif, hingga keahlian dalam memanfaatkan teknologi adalah beberapa faktor yang melatarbelakangi terbentuknya “tembok” antara orang tua dan anak.

Dalam beberapa kalangan masyarakat, paradigma bahwa pengasuhan anak adalah tanggung jawab ibu, menjadikan ketidakhadiran sosok ayah yang seharusnya menjadi role model dalam keluarga.

Sementara, ibu yang disibukkan dengan berbagai pekerjaan rumah tangga, seringkali kesulitan untuk membangun komunikasi yang intensif dengan anak.

Baca juga: Demi Kesehatan Remaja, Jangan Sebarkan Foto-foto Korban Bencana Alam

Orang tua biasanya hanya mempedulikan nilai dan ranking, tapi lupa menanyakan bagaimana pengalaman dan perasaan anak selama berada di sekolah”, ujar Rita Pranawati, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, yang juga hadir sebagai pembicara.

“Biasanya, orang tua hanya menanyakan tiga hal: Sudah makan belum? Bagaimana ulangannya? Sudah shalat belum?”, ujarnya.

Hal ini menjadikan anak merasa tidak nyaman untuk menceritakan kondisi pribadinya kepada orang tuanya sendiri.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau