Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyoal Dakwaan pada Anak Krakatau tentang Kasus Tsunami Selat Sunda

Dalam konferensi pers pada Minggu (23/12/2018) dini hari, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendakwa Anak Krakatau sebagai pemicu tsunami Banten.

Dakwaan tersebut dikeluarkan sebab berdasarkan pendataan, tak ada gempa di sekitar Selat Sunda yang bisa menyebabkan tsunami. Dakwaan diperkuat oleh bukti bahwa Anak Krakatau bererupsi 4 kali kemarin, terakhir pada 21.03 WIB atau 24 menit sebelum tsunami menerjang wilayah Serang.

Namun tudingan pada Anak Krakatau itu memicu perdebatan. Bagaimana mungkin gunung yang masih anak-anak itu bisa memicu tsunami? Semarah apa dia? Bagaimana mekanismenya?

Ahli vulkanologi Surono mengungkapkan, pengaruh aktivitas Anak Krakatau pada tsunami Banten seharusnya "bisa dikesampingkan".

Anak Krakatau masih gunung muda dan perlu terus menerus erupsi untuk tumbuh. Menurut Surono, erupsi gunung itu kemarin masih wajar dengan ketinggian lontaran material vulkanik hanya sekitar 1.500 meter. Untuk bisa menimbulkan tsunami, gunung setinggi 230 dari permukaan laut itu harus mengalami letusan hebat

"Tubuhnya harus terbongkar. Dan kalau itu terjadi, pasti abu vulkaniknya akan menyebar sampai Lampung dan Jawa," katanya ketika dihubungi Kompas.com, hari ini.

Ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdul Muhari, mengatakan, Anak Krakatau bisa memicu tsunami tetapi mekanismenya mungkin tak seperti yang dikira.

Dia mengatakan, Anak Krakatau berbeda dengan ibunya, Krakatau. "Postur gunungnya sekarang sudah berbeda. Kubah dulu sudah terbongkar. Sehingga kita perlu hati-hati apakah mekanismenya memicu tsunami masih sama," jelas Muhari.

Anak Krakatau juga dikitari 3 pulau kecil. Jika tsunami dipicu material erupsi secara langsung, maka gelombangnya pasti sudah terhalang pulau yang mengelilinginya. "Asumsi tsunami terjadi seperti saat letusan 1883 tak bisa dipakai," katanya.

Erupsi bisa memicu tsunami tetapi secara tidak langsung, misalnya karena longsoran yang terjadi di luar pulau sekitar gunung. Namun untuk bisa memicu tsunami, longsoran juga harus dalam jumlah besar. "Sampai saat ini kita belum punya data jadi semua masih hipotesis," ungkap Muhari.

Surono mengatakan, jika memang tsunami disebabkan longsoran, maka letusannya juga harus besar. Menurutnya, erupsi kemarin tak cukup besar untuk menghasilkan longsoran yang bisa memicu tsunami. Dia menambahkan, kalau ada longsoran, luruhnya material ke dasar laut pasti menimbulkan getaran.

"Kalau ada alat yang bisa membaca getaran, seharusnya itu terbaca," katanya.

Muhari punya dugaan lain. Salah satu dasarnya adalah waktu sampai gelombang tsunami yang acak. Berdasarkan pendataannya, gelombang tsunami sampai di Kota Agung yang berjarak 111,5 km dari gunung hampir bersamaan dengan waktu sampai Pantai Marina yang berjarak 55 km, masing-masing pada pukul 21.27 WIB dan 21.35 WIB.

Menurutnya, fakta itu menjadi masuk akal jika tsunami disebabkan oleh faktor cuaca. Fenomena itu disebut dengan meteo-tsunami. Perubahan tekanan atmosfer secara tiba-tiba dapat memicu gelombang besar yang menyerupai tsunami.

"BMKG perlu melihat data cuaca dalam rentang waktu yang lebih panjang, mungkin seminggu ke belakang, untuk melihat apakah ada perubahan signifikan faktor cuaca itu," katanya.

Namun, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin mengatakan, sangat kecil kemungkinan tsunami disebabkan oleh faktor meteorologi.

"Tidak ada dasar yang menjelaskan perubahan tekanan tiba-tiba. Perubahan tekanan karena pemanasan. Tsunami terjadi pada malam hari jadi tidak mungkin," katanya.

Dia meyakini, Anak Krakatau bukan satu-satunya pemicu tsunami Selat Sunda. Faktor lain yang menyebabkan adalah gelombang tinggi akibat faktor purnama dan angin.

Gelombang tinggi karena angin jika digabung dengan pasang maksimum karena purnama bisa menyebabkan banjir rob yang melimpas ke daratan lebih jauh.

"Bila ada gelombang tambahan dari tsunami akibat longsoran, walau sesungguhnya tidak besar, banjir rob bertambah kekuatannya sehingga bisa merusak," ungkapnya.

Terlepas dari perdebatan yang ada, Surono mengungkapkan bahwa setiap bencana pasti memiliki gejala yang bisa dibaca.


https://sains.kompas.com/read/2018/12/23/180319123/menyoal-dakwaan-pada-anak-krakatau-tentang-kasus-tsunami-selat-sunda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke