KOMPAS.com – Hidup di tengah wilayah yang rentan gempa bumi, pembangunan infrastruktur seharusnya mendapat perhatian lebih.
Secara teknis, sebenarnya sudah banyak pengalaman untuk menghadapi gempa bumi yang terangkum dalam beberapa undang-undang. Namun, mentransfer ini menjadi mitigasi adalah persoalan yang besar.
Ditemui dalam diskusi Senin (08/09/2018), di kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Widjojo A Prakoso selaku pengajar dari Departemen Teknik Sipil Universitas Indonesia menjelasakannya.
Dia mengatakan, kalau kita lihat dari sisi perundangan, di pasal sudah disebutkan bahwa yang menjadi perhitungan dari pembangunan adalah terkait gempa. Dari menteri PU juga sudah disebutkan secara eksplisit bahaya likuifaksi di dalam permen.
Baca juga: Pause Dulu Nyinyirnya, Ambil Pelajaran dari Gempa dan Tsunami Ini
Peraturan menteri yang dimaksud tertuang dalam Permen nomor 29/PRT/M/2006 yang berbunyi: "Dalam perencanaan struktur bangunan gedung terhadap pengaruh gempa, semua struktur bangunan gedung, baik bagian dari sub struktur maupun struktur gedung harus diperhitungkan memikul pengaruh gempa rencana sesuai dengan zona gempanya."
Undang-undang tersebut secara jelas mengingatkan untuk pertimbangan membangun bangunan di atas tanah yang berpotensi gempa bumi.
Untuk mengantisipasi gempa bumi, Deputi BPPT Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA), Dr. Hammam Riza, mengungkapkan rekomendasinya, yaitu Sijagat dan Sikuat.
Dia menjelaskan, Sijagat ini adalah teknologi untuk mengukur keandalan sebuah gedung terhadap ancaman gempa bumi, dan memberikan solusi berupa rekomendasi teknis. Sedangkan Sikuat adalah sistem pemantauan kesehatan struktur gedung akibat gempa bumi.
"Jadi, nanti bangunan akan dipasang sensor untuk mengetahui tingkat keamanan gedung segera setelah kejadian gempa bumi,” katanya dalam jumpa pers Kamis (04/10/2018), di Jakarta.
Baca juga: Perkawinan Minim Teknologi dan Mitigasi Rendah Lahirkan Bencana Palu
Meski masih dalam tahap uji coba, Hammam berkata bahwa data dari temuan ini dapat menjadi pembelajaran untuk membangun bangunan yang layak terhadap gempa bumi.
Sementara itu pada sektor yang lebih kecil seperti perumahan, Widjojo menyampaikan perlunya pertimbangan dalam pemilihan ‘tukang’ untuk membangun rumah kita.
“Berapa banyak dari Anda yang ketika bangun rumah hanya manggil tukang? Manggil insinyur enggak?," ujarnya
"Kami pernah melakukan survei ke 50 persen tukang di Jakarta, (mereka) itu tidak ada pendidikan membangun rumah. Jadi mereka membangun rumah itu berdasarkan kebiasaan, bukan ilmu. Padahal kalau berbicara Indonesia yang rawan gempa dan membangun rumah di atasnya kita berbicara ilmu,” imbuhnya lagi.
Untuk itu, ia menegaskan kepada masyarakat agar mempertimbangkan penggunaan jasa konstruksi yang memiliki dasar ilmu dalam membangun. Pasalnya, hidup di wilayah Indonesia, menjadi hampir sebuah kepastian jika kita akan menghadapi gempa bumi.
“Kalau kita berbicara gempa, kita sebenarnya berbicara di sumbernya yang jauh di sana. Kita tidak bicara apa yang kita rasakan. Karena magnitudo gempa itu ukuran rilis energinya, makin besar magnitudonya, energi yang dilepaskan makin besar, makin parah juga dampak kerusakannya,” kata Widjojo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.