KOMPAS.com - Sistem peringatan yang tidak memadai, kurangnya pemahaman mitigasi bencana saat terjadi gempa berkekuatan destruktif, disebut sebagai faktor sempurna untuk melahirkan bencana mematikan di Indonesia.
Hal tersebut nyata terlihat dalam peristiwa gempa berkekuatan 7,4 di Donggala dan Tsunami yang menghantam Palu. Atas peristiwa tersebut, tercatat sudah ada 844 orang yang meninggal dunia.
Saat para korban dimakamkan di kuburan massal dan tim penyelamat berjuang untuk mencapai daerah terisolasi, berbagai pertanyaan muncul. Salah satunya, apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa.
"Informasi tsunami tidak tercatat karena stasiun pemantau pasang di Palu tidak berfungsi," kata Widjo Kongko, ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Baca juga: 4 Fakta tentang Alat Deteksi Tsunami Buoy di Indonesia
Tragedi ini pun menyoroti pendapat para kritikus tentang sistem peringatan dini kurang bermutu yang digunakan untuk mendeteksi tsunami di Indonesia. Padahal negara kita ada di wilayah cincin api dan sangat rentan terjadi bencana alam.
Seperti kita tahu, setelah terjadi gempa besar yang pertama, BMKG memonitor aktivitas seismik dan mengeluarkan peringatan tsunami, tetapi setengah jam kemudian peringatan tersebut dicabut.
Beberapa menit kemudian, muncul gelombang tinggi sekitar 3 meter yang membanjiri pantai, meratakan bangunan, dan menjungkirbalikkan mobil.
Satu-satunya alat prediksi gempa yang dapat diikuti tsunami adalah stasium pemantauan gelombang dan pemodelan data.
Dilansir AFP, Senin (1/10/2018), meski semua stasiun milik negara dapat bekerja optimal, para ahli mengatakan jaringan yang dipancarkan terbatas dan hanya ada sedikit waktu untuk menyelamatkan diri. Pasalnya, alat hanya bisa mendeteksi gelombang saat sudah dekat dengan pantai.
Upaya-upaya untuk memperbaiki sistem pun memiliki banyak kendala, mulai dari minimnya perawatan sampai ruwetnya birokrasi.
Setelah gempa tsunami Aceh pada 2004 yang menewaskan sekitar 220.000 orang di Indonesia hingga Afrika, ada 22 pelampung (buoy) peringatan dini disebar di seluruh Indonesia untuk mendeteksi tsunami.
Sayangnya, kini tidak ada lagi buoy yang digunakan dengan alasan rusak, hilang dicuri, dan kurangnya dana pemeliharaan.
Dalam kasus lain, proyek besar yang didanai National Science Foundation AS sebenarnya sudah siap untuk menyebar sensor berteknologi tinggi tsunami di bagian barat Indonesia yang rentan gempa. Sayang, proyek ini harus ditunda karena lembaga pemerintahan tidak setuju dan adanya kesulitan dalam mendapatkan dana.
"Ini sangat menyedihkan, karena kami punya teknologi, punya ilmu pengetahuan, kami bisa melakukannya, tapi tidak bisa mewujudkannya," kata Louise Comfort, seorang ahli bencana alam dari University of Pittsburgh yang memimpin inisiatif tersebut kepada AFP.
Banyak orang beranggapan bahwa mengedukasi masyarakat saat menghadapi gempa jauh lebih penting, dibanding menggunakan teknologi canggih yang mahal di mana negara berkembang seperti Indonesia tidak mampu mengelolanya.