KOMPAS.com — Setelah gempa Donggala bermagnitudo 7,4 pada Jumat (28/9/2018) yang diikuti dengan tsunami Palu yang diperkirakan mencapai ketinggian 3 meter, ada dua reaksi warga Indonesia: nyinyir tentang peringatan dini yang diakhiri dan prihatin untuk Palu.
Sementara dua reaksi itu sangat berasalan, ada satu hal lagi yang perlu dilakukan, mengambil pelajaran dari bencana ini.
Ketahui Keruwetannya
Bencana yang terjadi kali ini cukup kompleks. Gempa bermagnitudo besar dipastikan mengakibatkan kerusakan. Namun, tsunami yang datang menerjang Palu sungguh tak terduga. Syarat tsunami adalah terjadinya gempa di zona subduksi atau pertemuan dua lempeng, episentrum pada kedalaman kurang dari 70 km, dan gerakan sesar naik.
Gempa kemarin memiliki sesar mendatar dan berpusat di daratan. Artinya, sebenarnya potensi terjadinya tsunami sangat kecil.
Ahli tsunami Widjo Kongko dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Abdul Muhari dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa karakter lepas pantai Palu yang berbentuk teluk turut memainkan peranan. Gelombang tsunami bisa diamplifikasi ketika masuk teluk.
Namun, bentuk teluk saja kemungkinan besar tak menjadi faktor utama yang menyebabkan gelombang tsunami mencapai sekitar 3 meter, seperti di rekaman video amatir.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, tsunami disebabkan oleh longsoran bawah laut. Tetapi Widjo dan Muhari berpendapat, itu masih spekulasi.
"Perlu dibuktikan dengan survei batimetri dasar laut untuk mengonfirmasi," kata Muhari ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (30/9/2018).
Baca juga: Bagaimana Gempa dan Longsor Berduet Memicu Tsunami Palu? Ini Ceritanya
Pelajaran untuk BMKG
Tsunami yang tak terduga menempatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada situasi sulit ketika harus memberi peringatan dini. Keputusan mengakhiri peringatan lalu menimbulkan kontroversi setelah viralnya video tsunami.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengaku, pihaknya mengalami keterbatasan pada saat gempa sementara harus memutuskan segera.
"Kenapa kami mengakhiri? Karena data tides gauge (hasil pengamatan di lapangan) tidak signifikan. Hanya 6 cm (di Mamuju)," kata Rahmat. "Selain itu kalau kelamaan nanti siapa yang melakukan pertolongan. Nanti kalau kami tidak segera mengakhiri tidak ada penyelamatan di sana karena masih rentang waktu warning."
Keputusan pengakhiran peringatan dini hanya didasarkan pada data gelombang di Mamuju. BMKG tidak bisa dapat data dari Palu sebab stasiun pasang surut pemantau gelombang di sana kolaps.
"Stasiunnya persis di pinggir laut. Online pakai listrik. Sebelum gempa, sebenarnya berfungsi, tetapi begitu gempa komunikasi listrik mati," kata Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Hasanuddin Z Abidin yang bertanggung jawab pada pengoperasian stasiun itu.