Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkaca Gempa Italia, Bagaimana Memaknai Potensi Tsunami 57 Meter?

Kompas.com - 11/04/2018, 12:32 WIB
Resa Eka Ayu Sartika,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com — Dalam seminar ilmiah oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Selasa (3/4/2018), peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Widjo Kongko mengungkapkan adanya potensi tsunami setinggi 57 meter di Pandeglang, Banten.

Hasil kajian yang diungkapkan dalam forum ilmiah bertajuk "Sumber-sumber Gempa Bumi dan Potensi Tsunami di Jawa Bagian Barat" tersebut kemudian diberitakan kepada masyarakat dan menimbulkan kehebohan.

Polda Banten bahkan sempat berencana memanggil Widjo Kongko karena dianggap telah meresahkan masyarakat.

Pendapat Polda Banten ini ditolak oleh Abdul Muhari, Chairman Sentinel Asia Tsunami Working Group, yang menyebut bahwa intervensi polisi terhadap kajian ilmiah dikhawatirkan bisa melemahkan upaya edukasi publik terhadap risiko bencana tsunami.

Baca juga: Katanya Bisa Memicu Tsunami Besar, Apa Sebenarnya Megathrust?

Lewat opininya di harian Kompas, Selasa (10/04/2018), Abdul justru mengungkapkan bahwa hasil kajian Widjo Kongko bisa memberikan pengaruh baik dalam hal mitigasi.

Untuk menegaskan hal tersebut, Abdul dalam tulisannya memberi contoh lain, yakni gempa di kota L’Aquila, Italia, yang dinilainya bisa dijadikan pembelajaran dalam memaknai peran peneliti dan penelitiannya dalam membangun kesiapsiagaan.

Gempa yang dimaksud Abdul terjadi pada tanggal 6 April 2009. Tragedi tersebut menghancurkan setidaknya 3.000 sampai 11.000 bangunan dan mengakibatkan 309 orang tewas.

Namun, yang menjadi perhatian dunia adalah kejadian pada 2012 silam, yakni enam pejabat pemerintah (yang juga ilmuwan) di Italia dipenjara selama enam tahun atas tuduhan "pembunuhan tidak disengaja" karena memberikan imbauan yang "tidak akurat, tidak komplit, dan kontradiktif" terhadap potensi gempa yang mungkin terjadi.

Baca juga: Mungkinkah Ada Sesar Sumber Gempa di Bawah Tanah Jakarta?

Abdul menulis, satu bulan sebelum gempa terjadi, diberitakan dalam suatu acara televisi bahwa seorang teknisi menemukan peningkatan radiasi gas Radon di lokasi gempa. Hal tersebut, menurut beberapa kajian ilmiah, bisa menjadi pertanda kemungkinan akan terjadi gempa.

Meski demikian, peningkatan emisi gas Radon memang tidak selalu konsisten dengan kejadian gempa.

"Teknisi ini kemudian dituduh sebagai penyebar berita bohong dan dilaporkan kepada polisi atas tuduhan ‘menyebarkan ketakutan’ di masyarakat dan diharuskan untuk menghapus seluruh analisis terkait potensi gempa tersebut dari laman-laman internet," tulis Abdul.

Beberapa hari sebelum gempa utama (main shock) terjadi peningkatan kejadian gempa-gempa kecil di wilayah L’Aquila. Fenomena ini membuat masyarakat mulai resah. 
Apalagi, sebelumnya muncul berita tentang kemungkinan akan terjadi gempa besar.

"Untuk menenangkan masyarakat, beberapa ilmuwan dan pejabat pemerintah memberikan pernyataanbahwa gempa yang diprediksi tersebut ‘sepertinya tidak akan terjadi’ dan ‘keadaan tetap aman’ serta gempa-gempa kecil yang terjadi adalah ‘fenomena geologi biasa’, karena secara ilmiah memang belum ada metode yang bisa memprediksi terjadinya gempa," tulisnya.

Baca juga: Menyoal Potensi Tsunami 57 Meter, Bisakah Kajian Ilmiah Dipidanakan?

"Tetapi apa mau dikata, masyarakat yang diminta tetap tenang tersebut kemudian ternyata benar-benar dihantam gempa yang meluluhlantakkan kota mereka," kisah Abdul.

Terlepas dari kesalahan pernyataan tersebut, banyak pihak menyebutkan bahwa bencana di kota L’Aquila terjadi akibat kualitas bangunan yang memang tidak didesain untuk tahan gempa.

Namun, menurut Abdul, yang perlu kita cermati adalah para ilmuwan dan pejabat pemerintah yang memberikan pernyataan bahwa tidak akan terjadi gempa tersebut tetap diadili meskipun dua tahun berikutnya pada tahun 2014 hukuman mereka dibatalkan.

"Kejadian di L’Aquila tersebut bisa diambil sebagai pelajaran bahwa informasi tentang potensi terjadinya bencana di suatu tempat bukan untuk diperdebatkan dan dipertentangkan," ujarnya.

"Akan tetapi, untuk ditindaklanjuti dengan upaya mitigasi yang applicable dan disegerakan tindak lanjutnya karena bencana tidak akan menunggu, kita yang harus segera bersiap untuk meminimalisasi dampaknya," ujar Abdul.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau