Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kupas Habis Difteri, Bagaimana Penyakit Kuno Jadi "Hantu" pada 2017?

Kompas.com - 11/12/2017, 18:00 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Kasus wabah difteri yang terjadi di penghujung tahun 2017 disebut sebagai kejadian luar biasa (KLB).

Seperti diberitakan Kompas.com sebelumnya, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Mohamad Subuh, menyebut difteri yang terjadi tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya.

Salah satunya karena pengidap difteri tidak hanya terjadi pada anak-anak saja, tetapi juga orang dewasa. Dalam catatan Subuh, korban difteri paling muda berumur 3,5 tahun dan usia paling tua 45 tahun.

Difteri bukanlah penyakit baru. Ia sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan telah mewabah di banyak negara. Ia juga disebut sebagai penyakit masa lalu sejak difteri diperkenalkan pada tahun 1920-an dan 1930-an.

Baca Juga: Kemenkes: Difteri Tahun Ini Luar Biasa

Namun, penyakit masa lalu ini kembali pada 2017. Selain Indonesia, negara lain yang terserang wabah difteri pada tahun ini adalah Bangladesh dan Yaman. Untuk kedua negara itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengirimkan antitoksin.

"Sangat mengejutkan bahwa pada 2017, ada anak-anak yang meninggal karena penyakit kuno yang sebenarnya dapat dicegah dengan vaksin dan mudah ditangani," ujar perwakilan WHO, Dr Nevio Zagaria dikutip dari NPR, Jumat (8/12/2017).

Apa itu penyakit difteri?

Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini dapat hidup di beberapa orang tanpa menunjukkan gejala.

Oleh karena itu, ia dinamakan tipe Typhoid Mary, yakni kondisi di mana seseorang tidak sadar sudah memiliki bibit bakteri tersebut.

Seperti flu, difteri menyebar lewat udara, terlebih saat ada orang yang sedang batuk atau bersin. Jika pada anak-anak, mereka dapat terjangkit karena mainannya yang telah terkontaminasi.

Gejalanya meliputi sakit tenggorokan, demam rendah, dan kurang nafsu makan. Tanda-tanda ini diikuti timbulnya lapisan keabu-abuan pada hidung atau tenggorokan, dan pembengkakan tenggorokan yang disebut bullneck.

Pola penyebaran difteri

Bakteri pertama-tama akan menempel pada lapisan sistem pernafasan dan menghasilkan racun yang akan membunuh jaringan sehat. Hal ini dilakukan dengan cara mencegah sel menciptakan protein.

Baca Juga: Punya 1.000 Dosis Obat Difteri, Kemenkes Imbau agar Tak Khawatir

Setelah beberapa hari, bakteri ini dapat membunuh begitu banyak sel sehingga jaringan yang mati tadi membentuk lapisan keabu-abuan di hidung dan tenggorokan. Akibatnya, seseorang yang terinfeksi difteri akan sulit bernafas dan menelan.

Jika racun masuk ke aliran darah, maka difteri dapat ditransfer menuju organ vital seperti jantung dan ginjal. Pada akhirnya, penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan saraf, kelumpuhan, dan gagal napas.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau