Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harimau Sumatera di Ujung Kepunahan, Siapa Pelakunya?

Kompas.com - 08/12/2017, 14:24 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Pada saat ini, jumlah harimau sumatera terus menurun. Bahkan kini diyakini hanya ada dua populasi harimau sumatera di alam bebas.

Berdasar survei setahun terakhir, merosotnya jumlah hewan dilindungi tersebut karena habitat harimau sumatera yang makin terdesak industri kelapa sawit.

Para ilmuwan memperkirakan bahwa jumlah harimau langka cederung turun hingga mencapai 618 ekor pada 2012. Ini merupakan pengurangan lebih dari 16 persen sejak tahun 2000.

Penelitian yang dipublikasikan dalam Nature Communications, Rabu (6/12/2017), menyatakan bahwa pembukaan lahan merusak sebagian besar habitat harimau dan mendesak populasi mereka menjadi kelompok-kelompok kecil yang terisolasi. Ini diperkirakan membuat mereka tidak akan dapat bertahan dalam jangka waktu lama.

Baca juga: Benarkah Harimau Jawa Belum Punah?

Matthew Luskin, penulis utama penelitian ini berkata bahwa dengan tersisanya dua kelompok yang memiliki lebih dari 30 induk betina, risiko kepunahan harimau sumatera (Panthea tigris sumatrae) lebih besar dari sebelumnya.

"Ada dua hutan yang masih cukup besar untuk secara mandiri menopang dalam jangka panjang dan menengah," kata Luskin yang juga merupakan kandidat doktoral di University of California, Barkeley dikutip dari ABC News, Rabu (6/12/2017).

"Sangat penting untuk menurunkan tingkat penggundulan hutan dan membuat wilayah tersebut aman karena hutan merupakan benteng terakhir," imbuhnya.

Para peneliti mempelajari harimau di dataran rendah, gunung, dan berbagai habitat mengunakan ratusan kamera jarak jauh yang dapat dikendalikan gerakan.

Ciri harimau yang khas dapat diidentifikasi dengan pola garis yang unik. Mereka memungkinkan para peneliti untuk menghindari duplikasi.

Baca juga: Orang Jakarta Bisa Selamatkan Harimau Sumatera kalau Mau Hemat Tisu

Mason Campbell, seorang ahli ekologi tropis di James Cook University menyebutkan, meski fragmentasi habitat yang disebabkan oleh jalan merupakan ancaman bagi harimau, akses yang diberikan jalan dapat memicu tekanan lebih lanjut.

"Indonesia menginvestasikan banyak uang untuk (jalan besar) melintasi pulau-pulau besar," kata Campbell.

"Jalan-jalan ini masuk ke sana dan biasanya orang pertama yang masuk adalah para pemburu - mereka menghabisi harimau, gajah, dan hewan-hewan lainnya yang mungkin bernilai," sambungnya.

Campbell juga berkata bahwa di belakang para pemburu, ada penebang liar yang melakukan pembalakan dan pencurian kayu yang bernilai tinggi. Menurut dia, status konservasi hutan harus diberikan setelah para pemburu dan pembalak liar masuk.

Itu karena mereka memberi lahan bagi industri untuk memulai pabrik.

Baca juga: Kisah Mulli, Harimau Remaja yang Baru Kembali ke Alam Liar

"Ini perusahaan besar, luas, dan kaya yang masuk. Mereka sering - saya mencoba untuk menempatkan ini secara sopan - terkait dengan pejabat pemerintah setempat yang menyetujui jalan tersebut," ungkap Campbell.

Dia melanjutkan, begitu hutan tersebut menjadi area produksi, semua produk di dalam hutan gratis untuk perusahaan kelapa sawit.

Meski para peneliti menemukan penurunan jumlah harimau sumatera secara keseluruhan, mereka didorong untuk menemukan bahwa kepadatan populasi harimau telah meningkat di daerah yang tetap tak tersentuh.

"Hasilnya adalah wilayah campuran untuk harimau," kata Luskin.

"Karena kepadatan harimau meningkat sepanjang waktu di kawasan hutan lindung, namun total luas hutan mengalami penurunan yang mengkhawatirkan," tambahnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau