Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/11/2017, 20:05 WIB

Oleh Dimitris Xygalatas*

KOMPAS.com — Mengapa orang tidak memercayai ateis?

Studi terbaru yang kami lakukan, diketuai oleh psikolog Will Gervais, menemukan prasangka moral yang meluas dan ekstrem terhadap ateis di seluruh dunia. Di semua benua, orang berasumsi bahwa mereka yang melakukan tindakan amoral, bahkan yang ekstrem seperti pembunuh berantai, kemungkinan ateis.

Studi kami merupakan pengungkapan pertama dari bias semacam itu dalam skala global, tetapi keberadaan prasangka semacam itu tidaklah mengejutkan.

Data survei menunjukkan bahwa orang Amerika kurang memercayai ateis dibandingkan kelompok sosial lain. Untuk sebagian besar politikus, pergi ke gereja sering menjadi cara terbaik untuk meraih suara, dan mengaku sebagai orang yang tidak beriman bisa menjadi bunuh diri politik. Bagaimanapun, tidak ada ateis yang terbuka di Kongres AS. Satu-satunya wakil yang tidak terafiliasi secara keagamaan menggambarkan dirinya sebagai bukan apa-apa, tapi tetap menyangkal sebagai ateis.

Jadi, dari mana prasangka ekstrem ini berasal? Dan apa bukti nyata mengenai hubungan antara agama dan moralitas?

Baca juga: Selama Ribuan Tahun, Mengapa Manusia Percaya Agama?

Bagaimana agama berhubungan dengan moralitas?

Betul bahwa agama utama dunia peduli dengan perilaku moral. Karenanya, banyak yang berasumsi bahwa komitmen agama adalah tanda kebajikan, atau bahkan bahwa moralitas tidak bisa ada tanpa agama.

Bagaimanapun, kedua asumsi itu bermasalah.

Untuk satu hal, cita-cita etis satu agama mungkin tampak amoral bagi anggota agama lain. Misalnya pada abad ke-19, pengikut Mormon menganggap bahwa poligami adalah perintah moral, sedangkan umat Katolik melihatnya sebagai dosa berat.

Lebih jauh lagi, cita-cita religius mengenai perilaku bermoral sering kali terbatas pada anggota kelompok, dan bahkan disertai dengan kebencian langsung terhadap kelompok lain. Pada 1543 misalnya, Martin Luther, salah seorang Bapak Protestanisme, menerbitkan risalah berjudul "Orang Yahudi dan Kebohongan Mereka” yang menggaungkan sentimen anti-Semit yang sudah menjadi kelaziman bagi berbagai kelompok agama selama berabad-abad.

Contoh-contoh tadi juga mengungkapkan bahwa moralitas keagamaan bisa dan memang berubah seiring pasang surut budaya di sekitarnya. Pada beberapa tahun terakhir, beberapa gereja Anglikan telah merevisi pandangan moralnya untuk mengizinkan kontrasepsi, pentahbisan perempuan dan merestui pernikahan sesama jenis.

Baca juga : Bukan Cuma Anda, Orang Ateis Juga Menganggap Sesamanya Tak Bermoral

Perbedaan antara kepercayaan dan perilaku

Dalam hal apa pun, kesalehan beragama hanya berkaitan longgar dengan teologi. Karenanya, kepercayaan dan perilaku orang yang beragama tidak selalu sesuai dengan doktrin keagamaan resmi. Sebaliknya, kesalehan populer cenderung lebih praktis dan intuitif. Ini yang oleh para ilmuwan agama disebut “ketidaktepatan teologis”.

Agama Buddha misalnya, mungkin resminya adalah agama tanpa Tuhan, tapi kebanyakan umat Buddha masih memperlakukan Buddha sebagai sesosok dewa. Sama seperti, Gereja Katolik menentang kontrasepsi dengan keras, tapi sebagian besar umat Katolik tetap mempraktikkannya. Sebenarnya, “ketidaktepatan teologis” bukanlah perkecualian di antara para umat, tetapi sudah menjadi norma.

Umat Buddha melaksanakan prosesi pembacaan kitab suci Tipitaka sebagai perayaan hari Asadha di pelataran Candi Borobudur, Magelang, Kamis (6/7/2017).Kompas.com/Ika Fitriana Umat Buddha melaksanakan prosesi pembacaan kitab suci Tipitaka sebagai perayaan hari Asadha di pelataran Candi Borobudur, Magelang, Kamis (6/7/2017).

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau