Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suatu Saat, Kanker Mungkin Bisa Diobati dengan Kunyit

Kompas.com - 09/11/2017, 21:08 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Penggunaan kunyit tak melulu bicara tentang bumbu masakan. Ke depan, rempah yang jamak ditemui di Asia Tenggara ini dapat digunakan sebagai obat kanker melalui zat kurkumin yang dikandung kunyit. Penelitian tersebut tengah dikembangkan oleh Yuliati Herbani, peneliti di Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Kunyit punya khasiat membunuh bakteri di dalam tubuh. Jika merasa mual, kunyit dapat menetralisirnya. Untuk kawasan Asia, India telah banyak menuliskan manfaat kurkumin dalam artikel ilmiah. Namun, mereka belum sampai pada tahap pengobatan kanker.

Yuliati mengatakan, kurkumin sulit untuk larut di dalam air. Padahal, kondisi itu diperlukan untuk efektivitas masuknya obat ke dalam sel.

“Kalau lihat di gelas suka nempel di sekitarnya, jadi kuning. Kalau obat yang tidak bisa terlarut dalam air itu tidak bisa digunakan. Kalau di bentuk nano dia bisa meresap, berdifusi begitu cepat ke organ tubuh hingga efektivitasnya jauh lebih tinggi,” kata Yuliati di kompleks Kemenristek Dikti, Jakarta, Kamis (9/11/2017).

Baca Juga: Benarkah Arang Bisa Memicu Kanker?

Untuk itu, Yuliati memadatkan bubuk kunyit menjadi seperti koin. Lalu, bubuk padat itu ditembak dengan laser dalam larutan air dan ditambahkan dengan cycodextrin. Tanpa cycodextrin, kurkumin tidak larut di dalam air dan akan mengendap di organ tubuh.

“Cycodextrin lebih biokompatibel di dalam tubuh dibandingkan dengan polimer lain,” kata Yuliati.

Dalam bentuk ini, kurkumin dipadukan dengan partikel nano emas. Setelah diinjeksikan ke dalam aliran darah dan menuju organ yang terkena kanker, kurkumin akan disinari dengan laser. Lalu, zat itu bereaksi dan mengeluarkan panas yang bisa menghancurkan sel kanker.

Menurut Yuliati, nanopertikel emas akan keluar bersama metabolisme tubuh. Bila tetap di dalam tubuh, nanopartikel emas pun tidak berbahaya.

Metode ini akan menghasilkan efek yang berbeda dibandingkan dengan perawatan kanker konvensional. Penggunaan obat sitostatik berguna untuk mencegah pertumbuhan sel kanker dengan cepat. Namun, efek sampingnya obat ini juga menyerang sel tak berbahaya seperti sel di folikel atau kelenjar rambut. Maka, jangan heran pengguna kemoterapi mengalami kebotakan.

Baca Juga: Kenapa Perawatan Kanker Menyebabkan Rambut Rontok?

Sedangkan kurkumin berasal dari kunyit. Dengan begitu, Yuliati percaya obat herbal lebih aman bagi pengidap kanker.

“Tidak punya efek samping jangka panjang. Ini baru fokus pada kanker payudara dan serviks,” kata Yuliati.

Dalam tahap penelitian, Yuliati telah mampu mengaplikasikan nanopartikel emas ke larutan air dan ethanol, dan heksana. Saat ini, penelitiannya sampai pada tahap meratakan ukuran partikel.

Sayangnya, sulitnya komponen optik membuat proses penelitian Yuliati terhambat. Ia harus mengimpor alat penelitiannya dari Singapura dan harus menunggu hingga sekitar dua bulan untuk sampai di meja laboratoriumnya.

Yuliati berharap penelitiannya dapat selesai dalam dua tahun ke depan. Sebagai penerima anugrah tahunan L’oreal – Unesco for Women in Science National Fellowship Awards 2017, Yuliati mendapat tambahan dana penelitian sebesar Rp. 80 juta untuk melanjutkan penelitiannya.

“Di dunia internasional pun kurkumin sebagai antikanker masih in progress penelitian. Jadi saya ingin kejar mereka yang sudah duluan di kurkumin dengna sinergikan nanopartikel.

Baca Juga: Gula Memang Memberi Makan Sel Kanker, tetapi...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau