Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Cara Menjaga Kesehatan Anak dari Dampak Perubahan Iklim?

Kompas.com - 21/09/2017, 20:06 WIB
Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.COM -- Selama lebih dari 50 tahun; aktivitas manusia, terutama pembakaran fosil, seperti batu bara dan minyak bumi, telah melepas sejumlah besar karbon dioksida dan gas lainnya. Gas-gas ini kemudian terperangkap di bawah lapisan atmosfer dan menyebabkan pemanasan global.

Akibatnya, dunia telah menghangat sekitar 0,85 derajat Celcius dalam 130 tahun terakhir. Hal ini menyebabkan lapisan es bumi mencair, permukaan laut naik, dan pola presipitasi berubah. Alhasil, peristiwa cuaca ekstrem menjadi lebih intens dan sering.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) pernah mengeluarkan siaran pers mengenai prediksi kesehatan antara tahun 2030 hingga 2050. Mereka mengungkapkan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan kenaikan angka kematian sebesar 220.000 jiwa per tahun akibat malnutrisi, diare, dan udara panas.

(Baca juga: Tahun 2100, Suhu di Negara-negara Ini Akan Membunuh Manusia)

Perubahan iklim memang berdampak besar terhadap kesehatan manusia, kehidupan sosial, dan lingkungan tempat tinggal. Manusia terancam kekurangan air bersih, sumber makanan, dan tempat tinggal yang layak huni.

Masih menurut WHO, lebih dari 88 persen penyakit yang disebabkan oleh perubahan iklim menyerang anak di bawah usia lima tahun.

Hal ini disetujui oleh American Academy of Pediatrics (AAP) yang menulis sebuah laporan teknis mengenai bukti ilmiah terkait hubungan perubahan iklim dengan masalah kesehatan anak, pengembangan, kesejahteraan dan gizi.

AAP menyatakan bahwa perubahan kondisi cuaca yang ekstrem adalah salah satu penyebab utama trauma pada anak-anak. Perubahan iklim juga meningkatkan risiko cedera, kematian, dan konsekuensi kesehatan mental.

(Baca juga: Resmi, 2016 adalah Tahun Terpanas dalam 8.000 Abad)

Lebih jauh, AAP memprediksi bahwa pada 2030, terutama di Asia dan sub-Sahara Afrika, perubahan iklim akan menyebabkan kematian lebih dari 48.000 anak di bawah usia 15 tahun karena penyakit diare. Hal ini karena anak-anak tersebut berasal dari negara termiskin di dunia, di mana beban penyakit tidak proporsional dan perubahan iklim sangat berpengaruh.

Memengaruhi imunitas

Spesialis anak di Bengkulu, Abul Khair, yang dijumpai Kompas.com menyebutkan bahwa perubahan cuaca yang ekstrem secara langsung berpengaruh pada imunitas (kekebalan), apalagi anak-anak yang mempunyai bakat alergi terhadap infeksi saluran pernapasan, seperti asma.

"Perubahan temperatur yang ekstrem akan memengaruhi imunitas anak, karena temperatur anak itu normalnya di bawah 38 derajat celcius, dengan batas temperatur bawah sekitar 26 hingga 27 derajat. Nah, perubahan temperatur inilah yang berpengaruh langsung pada imunitas," jelas Abul.

(Baca juga: Bagaimana Harvey, Irma, dan Jose Membuktikan Perubahan Iklim?)

Dia menegaskan, dengan melemahnya imunitas akibat cuaca ekstrem, maka semua penyakit akan mudah masuk karena antibodi tubuh melemah. Pada umumnya, penyakit yang diderita oleh anak-anak adalah melemahnya imunitas, lalu diiringi dengan masuknya penyakit lainnya.

"Jadi, kalau imunitas lemah, antibodi melemah, maka penyakit lain akan masuk, itu sederhananya. Nah, melemahnya imunitas pada anak itu akibat pengaruh cuaca ekstrem," jelasnya.

Saat ini, kata dia, langkah tepat yang harus dilakukan untuk meningkatkan imunitas adalah dengan imunisasi.

"Makanya, dengan teknologi dan ilmu pengetahuan terbaru dalam kedokteran, makin banyak penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Kalau dulu, imunisasi masih sedikit, hanya ada lima macam. Saat ini sudah ada 16 vaksin yang dikembangkan untuk mencegah penyakit yang belum ada vaksinnya, termasuk influenza," bebernya.

Selain itu, karena kualitas lingkungan juga berpengaruh pada kesehatan anak, Abul pun menyarankan untuk menjaga lingkungan hidup. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menekan laju perubahan iklim adalah mempertahankan kawasan hutan, mengurangi penggunaan energi fosil, dan perbaikan transportasi umum menjadi lebih nyaman dan aman.

"Kita lihat kendaraan sekarang begitu banyaknya yang memicu buruknya udara. Kota Bogor, misalnya. Dulu kota asri dan segar, sekarang tidak lagi. (Jadi) sistem transportasi publik harus diperbaiki," sarannya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau