Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang gemar melihat bintang dan menekuri Bumi.

Bintang Betelgeuse, Jadi Meledak atau Tidak?

Kompas.com - 15/02/2020, 18:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HASIL pengamatan terkini kecerlangan (magnitudo) bintang Betelgeuse yang dipublikasikan AAVSO (American Association of Variable Stars Observers) kian membuat tertegun.

Bintang itu terus meredup saja, sehingga kini kecerlangannya menjadi +1,62 berdasarkan pengamatan terakhir pada 4 Februari 2020. Dibandingkan kondisi 'normal' yang terakhir terjadi empat bulan sebelumnya, maka pada saat ini kecerlangan Betelgeuse tinggal 34 %.

Selama empat bulan berturut–turut inilah bintang Betelgeuse mulai meredup dan terus meredup, fenomena yang pertama kali dilaporkan Edward Guinan dan Richard Wasatonic (keduanya astronom Universitas Villanova, Amerika Serikat) serta Thomas Calderwood (astronom amatir).

Bila semula Betelgeuse adalah bagian kelompok bintang–bintang terang dengan kecerlangan +0,45 maka saat ini ia menempati titik paling redup yang pernah terdeteksi sepanjang pengamatan kecerlangan bintang berkelanjutan dimulai 125 tahun silam.

Apa yang sedang terjadi?

Bintang Betelgeuse telah dikenal umat manusia sejak awal peradaban. Ia bintang terang ke–11 di langit malam dan bintang terang ke–2 dalam gugusan bintangnya, setelah Rigel. Bersama Rigel dan tujuh bintang terang lainnya, Betelgeuse membentuk gugusan bintang populer: Orion.

Orang Jawa kuna mengesaninya mirip bajak (Jawa: wluku) sehingga mendapatkan nama lokal Waluku. Terbitnya Waluku di langit timur yang hampir sama dengan terbenamnya Matahari, yakni pada akhir November–awal Desember, adalah penanda petani Jawa sebaiknya sudah menanami sawah atau ladangnya. Dan terbenamnya Waluku di langit barat sesaat setelah terbenamnya Matahari menjadi pertanda musim panen sudah hampir usai.

Pengaruh Islam yang dikombinasikan dengan pengetahuan navigasi menjadikan ketampakan Waluku memiliki peranan lain, yakni sebagai petunjuk arah kiblat. Hal itu berlaku bagi suku–suku bangsa di Asia tenggara.

Patokannya adalah tiga bintang terang di 'sabuk' Waluku. Jika Waluku berada di langit bagian barat, maka garis khayali yang ditarik melintasi ketiga bintang terang tersebut hingga menembus ufuk barat akan nyaris bersua dengan azimuth arah kiblat setempat.

Lekatnya Betelgeuse dengan Umat Islam tersurat dari namanya, yakni Ibt al–Jauza' (bahu Orion) dan Yad al–Jauza' (tangan Orion) dalam bahasa Arab. Sebab, bintang terang ini mengesankan menjadi bagian lengan gugusan bintang Jauza' yang feminin.

Transliterasinya ke dalam bahasa–bahasa di benua Eropa memberikan sejumlah variasi nama : Bed Elgueze, Beit Algueze, Bet El-geuze, Beteigeuze, Betelguese, Betelgueze, Betelgeux, Beldengeuse, Bectelgeuze, Bedalgeuze dan Ied Algueuze.

Pada tahun 2016, Working Group of Star Names di International Astronomical Union secara resmi mendaftarkan nama bintang terang ini sebagai Betelgeuse.

Betelgeuse merupakan salah satu bintang yang paling banyak diamati, termasuk di masa astronomi modern. Kini diketahui jaraknya ke Bumi kita sekitar 700 tahun cahaya. Maka cahaya Betelgeuse yang kita terima saat ini adalah berkas cahaya yang dipancarkan sang bintang manakala imperium Majapahit mulai mewarnai Nusantara.

Ia menjadi bintang kedua yang diukur garis tengahnya selain Matahari kita lewat aneka pengukuran sejak tahun 1920. Kini diketahui ukuran rata–rata Betelgeuse 1.200 kali lipat Matahari.

Jelas Betelgeuse merupakan bintang maharaksasa merah yang terdekat dengan Bumi kita. Bilamana Betelgeuse ditempatkan dalam tata surya kita menggantikan kedudukan Matahari, maka segenap planet dari Merkurius hingga Jupiter akan lenyap karena tertelan dan menjadi bagian bintang maharaksasa tersebut.

Bintang maharaksasa merah merupakan bintang massif yang sedang menjalani tahap akhir kehidupannya sebelum meledak dalam peristiwa supernova nan membahana. Betelgeuse telah kehabisan Hidrogen di intinya dan tinggal menyisakan sedikit di fotosfera–nya, sehingga mulai mengonsumsi Helium dalam dapur fusi termonuklirnya.

Reaksi itu mulai berlangsung sekitar sejuta tahun silam dan memproduksi tekanan radiasi cukup kuat guna melawan tarikan gravitasi dirinya sendiri. Tekanan radiasi itu lebih kuat ketimbang yang diproduksi dari reaksi fusi termonuklir Hidrogen, sehingga Betelgeuse pun membengkak menjadi bintang maharaksasa.

Meski pancaran energinya hingga 150.000 kali lipat Matahari kita, ukuran jumbonya membuat temperatur fotosfera Betelgeuse lebih rendah, yakni hanya 3.600 Kelvin atau jauh di bawah Matahari kita yang temperaturnya 6.000 Kelvin.

Selain lebih "dingin", ciri khas Betelgeuse lainnya adalah berdenyut, yakni gemar mengembang dan mengempis secara teratur. Denyutan tersebut diekspresikan lewat perubahan kecerlangan yang normalnya bervariasi dari 0,0 hingga +1,3.

Pengamatan lebih lanjut menunjukkan perubahan itu bisa diinterpretasikan sebagai denyutan ukuran bintang, dalam wujud perubahan garis tengahnya. Saat lebih redup maka ukuran Betelgeuse lebih besar, demikian pula sebaliknya. Dapat pula diinterpretasikan lain sebagai terjadinya gangguan periodik dalam sel–sel konvektif di fotosfera, misalnya munculnya bintik bintang (starspot) raksasa.

Perubahan kecerlangan merupakan ciri khas lainnya bintang maharaksasa, yang mulai tak stabil hingga kelak akan berakhir pada peristiwa supernova.

Pada Betelgeuse, dengan massa masifnya (yakni antara 10 hingga 20 kali massa Matahari kita), kelak supernova akan membuatnya berkeping–keping, tapi sekaligus melahirkan satu bintang eksotik baru dari intinya dengan tetap mematuhi limit Chandrasekhar, yakni bintang neutron dengan massa ditaksir bakal sekitar 1,5 kali massa Matahari kita.

Berdasarkan data variasi kecerlangan Betelgeuse selama seperempat abad terakhir, bintang itu memiliki sedikitnya lima periode perubahan kecerlangan, yakni setiap 242 hari, 430 hari, 1.083 hari, 1.376 hari dan yang terakhir setiap 6,06 tahun.

Jika dua atau bahkan tiga periode perubahan kecerlangan tersebut bertemu pada satu masa yang sama, Betelgeuse akan sangat meredup.

Akan tetapi sepanjang 125 tahun terakhir, titik teredup yang pernah dicapai bintang Betelgeuse hanya pada kecerlangan +1,3. Tentu ada penyebab lain yang membuat kecerlangan Betelgeuse merosot hingga bertengger di kecerlangan +1,62.

Apakah anomali Betelgeuse akan berakhir dengan sebuah supernova, yang bakal menjadi supernova terdekat ke Bumi kita sekaligus supernova terkini dalam galaksi Bima Sakti sejak tahun 1604?

ESO/L. Calça/Wikipedia Ilustrasi bintang maharaksasa Betelgeuse

Para astronom tidak menihilkan kemungkinan itu meskipun peluangnya nampaknya kecil. Betelgeuse diprakirakan baru akan meledak hebat dalam 100.000 tahun kelak, namun tetap terbuka peluang mengalami supernova lebih dini.

Sebuah bintang maharaksasa merah yang kehabisan Helium akan mulai mengonsumsi Karbon. Begitu Karbon habis, giliran Neon yang dikonsumsi. Lalu berikutnya Oksigen dan akhirnya Silikon. Konsumsi Silikon dalam dapur fusi termonuklir akan menghasilkan Besi.

Dalam setiap fase reaksi termonuklir itu, ukuran Betelgeuse akan terus mengembang dengan produksi energi yang cenderung menurun, sehingga kecerlangannya akan terus menurun.

Manakala Besi sudah diproduksi, dapur fusi termonuklir Betelgeuse pun berhenti akibat kurangnya energi. Tekanan radiasi pun menghilang, sehingga tarikan gravitasi akibat dirinya sendiri tak lagi tertahan. Dengan sangat cepat bintang maharaksasa itu mengempis dan membakar hampir segenap bahan baku fusi yang masih dikandungnya.

Supernova terjadi, melepaskan energi sangat–sangat–sangat besar yang diangkut foton dan neutrino yang membanjir bandang ke segala arah. Bersamaan dengannya, hampir segenap struktur bintang hancur–lebur, kecuali intinya.

Setiap nuklida yang ada di inti Betelgeuse akan diperas habis–habisan hingga tinggal berupa gumpalan campuran proton, elektron dan neutron.

Di bawah tekanan sangat hebat, proton dipaksa bergabung dengan elektron menjadi neutron. Lahirlah sebuah gumpalan neutron yang sangat besar, sangat padat, sangat massif (sesendok materi disana lebih berat ketimbang Gunung Everest) serta memiliki medan gravitasi dan medan magnet yang sangat besar. Itulah bintang neutron.

Pemodelan Jared & Bauer menunjukkan jika supernova Betelgeuse terjadi, maka selama 200 hingga 600 hari pasca ledakan ia akan lebih terang dari Venus. Bahkan pada puncaknya, akan hampir sama terangnya dengan Bulan purnama, sehingga di siang bolong pun mudah dilihat.

Barulah setelah 900 hingga 1.200 hari pasca ledakan, kecerlangan supernova Betelgeuse anjlok demikian drastis sehingga sulit dilihat lagi dengan mata telanjang.

Apakah supernova Betelgeuse sudah dekat?

Dalam Astronomical Telegram terbaru, Guinan dan koleganya mematok akhir Februari 2020 ini sebagai batas penentu kelanjutan nasib sang bintang maharaksasa ini.

Ia masih beranggapan anomali saat ini adalah produk salah satu periode perubahan kecerlangan, yakni yang bernilai 430 hari.

Di akhir Februari 2020, periode perubahan kecerlangan 430 hari sudah berakhir dan seharusnya Betelgeuse mulai bertambah terang. Namun jika terus saja meredup, jelas sesuatu yang lain mulai bermula.

Jadi bagaimana nasib Betelgeuse, apakah mau meledak apa tidak? Mari tunggu hingga bulan ini berakhir.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com