KOMPAS.com - Fenomena kerajaan fiktif semakin marak dengan munculnya King of the King di Tangerang seusai Sunda Empire dan Keraton Agung Sejagat. Namun, apakah para pelakunya mengidap sindrom megalomania karena mengaku sebagai raja dan memiliki kerajaan?
Menurut dokter spesialis jiwa RS Awal Bros, dr. Alvina, belum tentu pelaku yang mengaku sebagai raja dapat dikatakan mengidap gangguan penyakit kejiwaan.
"Sebelum menyimpulkan ini gangguan jiwa atau bukan, tentu kita harus periksa dan mengevaluasi. Karena tidak bisa semua disimpulkan demikian," ujar dr. Alvina kepada Kompas.com, Selasa (28/1/2020).
Jika hal itu dikaitkan dengan sindrom megalomania, makan perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap orang tersebut.
Lantas, apa itu megalomania?
Baca juga: Fenomena Kerajaan Fiktif, antara Motif Uang dan Masyarakat yang Tak Rasional
"Istilah megalomania adalah istilah dulu, sekarang kita menyebutnya grandiositas," kata dia.
Grandiositas atau megalomania ini merupakan suatu perilaku gangguan kejiwaan yang ditandai dengan sikap paling dalam segala hal.
"Misalnya, dia merasa paling penting, paling kaya, paling segala-galanya, paling superior, sehingga menuntut perlakukan yang berbeda," jelas dr. Alvina.
Kendati demikian, dr. Alvina menegaskan terkait fenomena kerajaan fiktif, bagi pelakunya belum bisa disebut mengalami gangguan kejiwaan tersebut.
"Karena bisa saja, ada motivasi lain yang membuat mereka demikian. Misalnya penipuan atau ingin menambah popularitas," imbuh dia.
Baca juga: Ramai Kerajaan Fiktif, Mengapa Masyarakat Mudah Percaya dan Tergoda Jadi Anggotanya?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.