Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai Kerajaan Fiktif King of the King, Adakah Kaitan dengan Megalomania?

Kompas.com - 28/01/2020, 18:32 WIB
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Penulis


KOMPAS.com - Fenomena kerajaan fiktif semakin marak dengan munculnya King of the King di Tangerang seusai Sunda Empire dan Keraton Agung Sejagat. Namun, apakah para pelakunya mengidap sindrom megalomania karena mengaku sebagai raja dan memiliki kerajaan?

Menurut dokter spesialis jiwa RS Awal Bros, dr. Alvina, belum tentu pelaku yang mengaku sebagai raja dapat dikatakan mengidap gangguan penyakit kejiwaan.

"Sebelum menyimpulkan ini gangguan jiwa atau bukan, tentu kita harus periksa dan mengevaluasi. Karena tidak bisa semua disimpulkan demikian," ujar dr. Alvina kepada Kompas.com, Selasa (28/1/2020).

Jika hal itu dikaitkan dengan sindrom megalomania, makan perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap orang tersebut.

Lantas, apa itu megalomania?

Baca juga: Fenomena Kerajaan Fiktif, antara Motif Uang dan Masyarakat yang Tak Rasional

"Istilah megalomania adalah istilah dulu, sekarang kita menyebutnya grandiositas," kata dia.

Grandiositas atau megalomania ini merupakan suatu perilaku gangguan kejiwaan yang ditandai dengan sikap paling dalam segala hal.

"Misalnya, dia merasa paling penting, paling kaya, paling segala-galanya, paling superior, sehingga menuntut perlakukan yang berbeda," jelas dr. Alvina.

Kendati demikian, dr. Alvina menegaskan terkait fenomena kerajaan fiktif, bagi pelakunya belum bisa disebut mengalami gangguan kejiwaan tersebut.

"Karena bisa saja, ada motivasi lain yang membuat mereka demikian. Misalnya penipuan atau ingin menambah popularitas," imbuh dia.

Baca juga: Ramai Kerajaan Fiktif, Mengapa Masyarakat Mudah Percaya dan Tergoda Jadi Anggotanya?

Lebih lanjut dr. Alvina memaparkan orang dengan gangguan grandiositas atau megalomania ini ada banyak penyebabnya.

Misalnya, orang tersebut memiliki gangguan psikotik. Adalah gangguan yang mana seseorang tidak bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi.

"Seperti, dia yakin kalau dia adalah seorang raja yang menguasai dunia atau negara," sambung dia.

Kalau demikian, kata dr. Alvina, kemungkinan orang tersebut memiliki waham atau delusi kebesaran.

Waham ini menunjukkan seseorang memiliki keyakinan yang salah, tidak bisa dikoreksi, bahkan tidak sejalan dengan intelegensi, budaya maupun agama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com