Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ilmuwan Ciptakan Batu Bata Bakteri yang Bisa Perbaiki Retakan Sendiri

Kompas.com - 16/01/2020, 18:32 WIB
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Penulis

KOMPAS.com - Para ilmuwan di bidang arsitektur di Amerika Serikat, belum lama ini menciptakan material bangunan dari bakteri.

Apa jadinya, jika sebuah batu bata bisa memperbaiki retakannya sendiri?

Melansir Scientific American, Kamis (16/1/2020), dengan menyuntikkan mikroorganisme hidup pada bahan bangunan, akan memberikan benda mati kekuatan baru.

Beton penyembuh diri, misalnya, menggunakan bakteri atau jamur untuk memperbaiki retakannya sendiri.

Saat ini, para peneliti telah mengembangkan zat hidup yang dapat mengubah campuran pasir lengket menjadi batu bata padat dan dapat membuat salinannya sendiri.

Baca juga: Batu Bata dari Urine Manusia: Hemat Biaya dan Ramah Lingkungan

Ke depan, zat ini dapat membuat bahan bangunan yang membutuhkan sumber daya yang relatif sedikit, sehingga alih-alih melepaskan gas rumah kaca, material ini justru dapat menyerapnya.

Bahan konstruksi hidup dari mikroorganisme

"Kami mengaktifkan bakteri yang kami pilih untuk membantu dalam proses pembuatan material bangunan," ujar Wil Srubar, ilmuwan material dan arsitek dari University of Colorado, Boulder.

Srubar dan timnya menggunakan sejenis Cyanobacterium dari genus Synechococcus. Didukung dengan proses fotosintetis, mikroorganisme ini menyerap sinar matahari, nutrisi dan karbon dioksida.

Selain itu, bakteri ini akan menyerap kalsium karbonat, senyawa kaku yang ditemukan dalam kerang dan semen.

Baca juga: Batu Bata Zaman Majapahit Ditemukan di Mojokerto, Apa Kaitannya dengan Situs Pataan di Lamongan?

Bakteri ini dikembangkan dalam bak berisi air laut buatan dan nutrisi lainnya, kemudian dipanaskan hingga suhu musim panas yang sangat hangat sekitar 30 derajat celcius.

Selanjutnya, cairan tersebut digabungkan dengan gelatin dan pasir, lalu dituangkan pada cetakan.

Di dalam cetakan tersebut, telah diberi campuran pendingin dan gelatin mulai terbentuk dan menciptakan perancah atau struktur penyangga yang dapat mendukung pertumbuhan bakteri.

Solusi kurangi emisi karbon

Synechococcus menebarkan kalsium karbonat ke seluruh struktur ini, mengubah soft goo menjadi zat mineral yang lebih keras yang dapat menahan pasir di tempatnya.

"Saya pikir ide menggunakan cynobacteria adalah ide yang bagus," kata insinyur mesin, Lina Gonzales yang saat ini mengajar di University of Massachusetts Lowell.

Dia menegaskan cynobacteria menyerap karbon dioksida. Pada proses pembuatan semen tradisional biasanya melakukan hal sebaliknya, sehingga diperlukan panas yang signifikan.

Biasanya, dari pembakaran bahan bakar fosil akan membuang gas rumah kaca ke atmosfer. Diperkirakan pembuatan semen konvensional telah menyumbang sekitar tujuh persen dari emisi karbon di seluruh dunia.

Baca juga: Temuan Batu Bata Kuno Mirip Fondasi di Kediri Dipastikan Benda Purbakala

"Bahan bangunan [lebih hijau] ini sebagai cara untuk mengatasi masalah saat ini, yakni dengan banyaknya CO2 di lingkungan," jelas Gonzales.

Kendati bahan material semen yang ramah lingkungan telah mulai dikomersialkan, namun Srubar menegaskan pendekatan dari penelitian ini berbeda.

"Kami menggunakan bakteri fotosintesis dan CO2, serta sinar matahari untuk membuat bahan tersebut," jelas Srubar.

Srubar meyakini bahan bangunan yang dikembangkan bersama timnya memiliki kelangsungan hidup yang panjang. Artinya, mikroorganisme di dalam bahan tersebut dapat hidup lebih lama.

Kelangsungan hidup yang lebih panjang pada material ini memungkinkan batu bata Srubar melakukan trik unik, yakni reproduksi diri sebagian.

Baca juga: Pelajaran dari Pantai, Sampah Plastik Bisa Jadi Batu Bata

Caranya, dengan memisahkan batu bata yang sudah jadi dan masukkan kembali setengahnya ke dalam cetakan tersebut dengan gelatin dan pasir segar.

Bakteri dari bagian aslinya akan tumbuh didalamnya dan mengeraskan bahan material itu untuk menghasilkan batu bata baru.

"Kami ingin menunjukkan bahwa hingga tiga generasi bahan bangunan dapat tumbuh dari satu generasi induknya," kata Srubar.

Masih menurut Srubar, secara efektif dengan mengambil satu blok induk, membaginya menajdi dua, maka akan tumbuh menjadi dua blok penuh.

"Lalu membaginya jadi dua, akan menghasilkan empat blok dan seterusnya. Secara teori, proses ini bisa berlangsung selamanya," sambung dia.

Kendati metode pembuatan ini akan lebih ramah lingkungan daripada metode pembuatan batu bata konvensional.

Namun, Srubar tidak mengusulkan, batu bata bakteri ini dapat sepenuhnya menggantikan bahan yang lebih tradisional.

Sebaliknya, penemuan ini diharapkan dapat digunakan untuk membantu daerah-daerah yang memiliki sedikit akses ke sumber daya.

Misalnya instalasi militer di padang pasir maupun permukiman manusia di planet lain.

"Kami termotivasi oleh pembangunan infrastruktur di lingkungan yang benar-benar terbatas sumber daya," jelas Srubar.

Baca juga: Di Negara Maju, Gipsum Gantikan Batu Bata untuk Dinding Rumah

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau