Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suhu di Laut Naik, Ahli Jelaskan Dampak Buruk Bagi Bumi

Kompas.com - 15/01/2020, 07:28 WIB
Amalia Zhahrina,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

Hasilnya, peningkatan panas terjadi pada laju percepatan ketika gas rumah kaca menumpuk di atmosfer.

Laju dari 1987 hingga 2019 adalah empat setengah kali lebih cepat dari 1955 hingga 1986.

Sebagian besar wilayah lautan menunjukkan peningkatan energi panas. Oleh karenanya, Energi ini mendorong badai yang lebih besar dan cuaca yang lebih ekstrem,

"Ketika dunia dan lautan memanas, itu mengubah cara hujan turun dan menguap. Ada aturan umum bahwa daerah yang lebih kering akan menjadi lebih kering dan daerah yang lebih basah akan menjadi lebih basah, dan curah hujan akan terjadi di daerah hujan yang lebih besar,” ujar Abraham.

Selain itu, lautan yang lebih panas juga dapat mengembang dan melelehkan es sehingga permukaan laut akan naik.

Hal ini diperlihatkan dari 10 tahun terakhir yang menunjukkan permukaan laut tertinggi dan diukur dalam catatan yang berasal dari tahun 1900.

Baca juga: Dibanding Matahari, Arus Laut Lebih Potensial Jadi Energi Terbarukan

Bahkan, menurut para ilmuwan, sekitar satu meter kenaikan permukaan laut pada akhir abad ini, cukup untuk menggusur 150 juta orang di seluruh dunia.

Dan Smale, di Asosiasi Biologi Kelautan di Inggris, dan bukan bagian dari tim analisis, mengatakan metode yang digunakan canggih dan data adalah yang terbaik yang tersedia.

"Bagi saya, pesan yang bisa dibawa pulang adalah bahwa kandungan panas dari lapisan atas lautan global, khususnya hingga kedalaman 300 meter, meningkat dengan cepat, dan akan terus meningkat ketika lautan menyedot lebih banyak panas dari atmosfer,” ujar Smale.

Menurut Smale, lapisan atas laut sangat penting bagi keanekaragaman hayati laut. Sehingga jika pemanasan terus meningkat, akan berdampak juga pada kehidupan laut.

Analisis baru menilai panas di 2.000 meter teratas samudera, karena di situlah sebagian besar data dikumpulkan. Itu juga tempat sebagian besar panas terakumulasi dan di mana sebagian besar kehidupan laut hidup.

Baca juga: Krisis Iklim Bikin Serangga Penyerbuk di Ekosistem Indonesia Terancam

Metode analisis dikembangkan oleh para peneliti di Akademi Ilmu Pengetahuan China di Beijing dan menggunakan metode statistik untuk menginterpolasi tingkat panas di beberapa tempat di mana tidak ada data, seperti di bawah lapisan es Kutub Utara.

Analisis independen terhadap data yang sama juga dilakukan oleh Badan Oseanografi dan Atmosfer Nasional AS. Badan ini juga menunjukkan bahwa tren panas yang meningkat juga sama.

Pengukuran panas laut yang andal merentang ke pertengahan abad ke-20. Tetapi Abraham berkata, ”Bahkan sebelum itu, kita tahu lautan tidak lebih panas.”

"Data yang kami miliki tidak dapat disangkal, tetapi kami masih memiliki harapan karena manusia masih dapat mengambil tindakan," katanya. "Kami hanya belum mengambil tindakan yang berarti."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com