Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suhu di Laut Naik, Ahli Jelaskan Dampak Buruk Bagi Bumi

Kompas.com - 15/01/2020, 07:28 WIB
Amalia Zhahrina,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.COM - Pada 2019, peningkatan panas laut di dunia memecahkan rekor baru. Di sisi lain, hal ini menunjukkan bahwa bumi kita juga sedang mempercepat laju pemanasan.

Sebuah analisis baru mengungkapkan bahwa lima tahun terakhir merupakan deretan tahun terhangat bagi lautan.

Peningkatan jumlah panas pada lautan setara dengan setiap penduduk bumi menggunakan 100 microwave oven sepanjang hari dan sepanjang malam.

Namun, mengapa panasnya lautan menjadi tolak ukur dari keadaan darurat iklim?

Baca juga: Dampak Perubahan Iklim, Tanaman Tumbuh di Zona Tinggi Himalaya

Hal ini dikarenakan lautan dunia menyerap lebih dari 90 persen panas yang terperangkap oleh gas rumah kaca yang dipancarkan dari pembakaran bahan bakar fosil, perusakan hutan, dan aktivitas manusia lainnya.

Akibatnya, lautan yang lebih panas akan menimbulkan badai yang lebih parah dan mengganggu siklus air sehingga dapat memperbanyak banjir, kekeringan, kebakaran hutan, serta kenaikan permukaan laut yang tidak bisa terhindarkan.

Temperatur yang lebih tinggi juga dapat membahayakan kehidupan di laut karena jumlah gelombang laut akan meningkat tajam.

Ukuran paling umum dari pemanasan global adalah suhu udara permukaan rata-rata, karena di sinilah orang hidup.

Namun, fenomena iklim alami seperti peristiwa El Nino bisa sangat bervariasi dari tahun ke tahun.

Dalam studinya, Prof John Abraham di University of St Thomas, di Minnesota, AS mengatakan bahwa lautan dapat memberi tahu seberapa bumi akan memanas.

"Dengan menggunakan lautan, kita melihat laju pemanasan planet Bumi yang berkelanjutan, tidak terputus dan semakin cepat. Ini berita buruk," ujarnya seperti dilansir The Guardian, Senin (13/01/2020).

Menurut Prof Michael Mann, di Penn State Universitas, AS, ia menjelaskan bahwa tahun 2019 bukan hanya menjadi tahun terpanas dalam catatan.

"Itu menampilkan peningkatan (panas) satu tahun terbesar dalam seluruh dekade, sebuah peringatan serius bahwa pemanasan yang disebabkan manusia pada planet kita terus berlanjut," ujar Mann.

Dalam jurnal Advances in Atmospheric Sciences, terdapat analisis yang menggunakan data lautan dari setiap sumber yang tersedia.

Sebagian besar data berasal dari 3.800 yang melayang di perairan bebas Argo dan tersebar di samudera. Selain itu, juga didapat tetap dari bathythermographs, mirip torpedo yang dijatuhkan dari kapal di masa lalu.

Hasilnya, peningkatan panas terjadi pada laju percepatan ketika gas rumah kaca menumpuk di atmosfer.

Laju dari 1987 hingga 2019 adalah empat setengah kali lebih cepat dari 1955 hingga 1986.

Sebagian besar wilayah lautan menunjukkan peningkatan energi panas. Oleh karenanya, Energi ini mendorong badai yang lebih besar dan cuaca yang lebih ekstrem,

"Ketika dunia dan lautan memanas, itu mengubah cara hujan turun dan menguap. Ada aturan umum bahwa daerah yang lebih kering akan menjadi lebih kering dan daerah yang lebih basah akan menjadi lebih basah, dan curah hujan akan terjadi di daerah hujan yang lebih besar,” ujar Abraham.

Selain itu, lautan yang lebih panas juga dapat mengembang dan melelehkan es sehingga permukaan laut akan naik.

Hal ini diperlihatkan dari 10 tahun terakhir yang menunjukkan permukaan laut tertinggi dan diukur dalam catatan yang berasal dari tahun 1900.

Baca juga: Dibanding Matahari, Arus Laut Lebih Potensial Jadi Energi Terbarukan

Bahkan, menurut para ilmuwan, sekitar satu meter kenaikan permukaan laut pada akhir abad ini, cukup untuk menggusur 150 juta orang di seluruh dunia.

Dan Smale, di Asosiasi Biologi Kelautan di Inggris, dan bukan bagian dari tim analisis, mengatakan metode yang digunakan canggih dan data adalah yang terbaik yang tersedia.

"Bagi saya, pesan yang bisa dibawa pulang adalah bahwa kandungan panas dari lapisan atas lautan global, khususnya hingga kedalaman 300 meter, meningkat dengan cepat, dan akan terus meningkat ketika lautan menyedot lebih banyak panas dari atmosfer,” ujar Smale.

Menurut Smale, lapisan atas laut sangat penting bagi keanekaragaman hayati laut. Sehingga jika pemanasan terus meningkat, akan berdampak juga pada kehidupan laut.

Analisis baru menilai panas di 2.000 meter teratas samudera, karena di situlah sebagian besar data dikumpulkan. Itu juga tempat sebagian besar panas terakumulasi dan di mana sebagian besar kehidupan laut hidup.

Baca juga: Krisis Iklim Bikin Serangga Penyerbuk di Ekosistem Indonesia Terancam

Metode analisis dikembangkan oleh para peneliti di Akademi Ilmu Pengetahuan China di Beijing dan menggunakan metode statistik untuk menginterpolasi tingkat panas di beberapa tempat di mana tidak ada data, seperti di bawah lapisan es Kutub Utara.

Analisis independen terhadap data yang sama juga dilakukan oleh Badan Oseanografi dan Atmosfer Nasional AS. Badan ini juga menunjukkan bahwa tren panas yang meningkat juga sama.

Pengukuran panas laut yang andal merentang ke pertengahan abad ke-20. Tetapi Abraham berkata, ”Bahkan sebelum itu, kita tahu lautan tidak lebih panas.”

"Data yang kami miliki tidak dapat disangkal, tetapi kami masih memiliki harapan karena manusia masih dapat mengambil tindakan," katanya. "Kami hanya belum mengambil tindakan yang berarti."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com