KOMPAS.com - Berdasarkan the International Diabetes Foundation (IDF), Indonesia menempati urutan ke lima dengan jumlah pasien diabetes melitus (DM) terbesar di dunia.
Jumlah kasus pasien penderita diabetes melitus di Indonesia pada 2017 tercatat mencapai 12 juta pasien.
Prevalensi DM di Indonesia pada tahun 2015 adalah 8,8 persen dan diperkirakan menjadi 10,4 persen pada tahun 2040.
International Health Metrics and Evaluation melansir persentasi angka kematian yang disebabkan oleh DM pada tahun 2017.
Baca juga: Diabetes Dapat Menyerang Usia Muda, Ini Penyebab dan Pencegahannya
Tercatat angka kematian mencapai 5,91 persen dari total kematian di Indonesia, lebih dari dua kali lipat proporsi kematian akibat DM di dunia mencapai 2,45 persen.
Peneliti Program Doktor Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Febrianti MSi menyampaikan pada semua pasien diabetes di Indonesia, 97,5 persen menderita diabetes melitus tipe 2 (DM 2).
Sebagian besar kasus diabetes melitus tipe 2 bermula dari resistensi insulin.
"Mengatasi segera resistensi insulin adalah cara pencegahan dini diabetes melitus yang mudah dan murah," ujar Febrianti dalam acara Promosi Doktor Ilmu Gizi di FKUI, Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Insulin Digunakan untuk Pertama Kali pada Penderita Diabetes
Namun, mengatasi segera resistensi insulin memiliki kendala tersendiri, yaitu metode biokimia yang biasa digunakan untuk mendeteksinya relatif mahal.
Selain itu, metode tersebut tidak selalu memungkinkan untuk digunakan dalam kegiatan penapisan massal. Metode ini invasif dan tergantung pada petugas kesehatan.
Oleh karena itu, kata Febrianti, dibutuhkan alternatif alat yang lebih murah, sederhana dan non-invasif untuk menyaring individu dengan risiko resistensi insulin.
"Dengan kuesioner skor risiko, penapisan dapat dilakukan oleh orang awam yang terlatih," ujarnya.
Tidak hanya itu, nantinya hanya orang dengan risiko resistensi insulin yang harus mendapatkan pengukuran biokimia lanjutan yang dilakukan oleh petugas kesehatan.
Febrianti melakukan studi, tujuannya menghasilkan kuesioner skor risiko resistensi insulin.
Metode ini dilakukan dengan menggunakan alat screening untuk membedakan seseorang dengan dan tanpa risiko resistensi insulin.
Asupan rata-rata harian dari nasi, telur, ikan dan udang, ayam, bersama dengan indeks massa tubuh (IMT) terpilih sebagai komponen terbaik untuk menghitung risiko resistensi insulin dalam kuesioner yang dikembangkan.
Skor risiko dari penelitian ini, kata Febrianti, terbukti baik untuk membedakan orang dengan resistensi insulin dengan yang normal.
Seseorang yang mendapatkan skor lebih dari 56 setelah menjawab pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner, memiliki risiko resistensi insulin.
Dari hasil tersebut, pasien akan dianjurkan untuk mendapatkan pemeriksaan lanjutan.
Baca juga: Kata Sosiolog, Diabetes juga Penyakit Sosial, Kok Bisa?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.