Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/01/2020, 20:02 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

Ini justru berbalik dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura yang bahkan menghasilkan lebih dari 1 kg per orang per hari, tetapi aliran sungai tidak dijadikan sebagai tempat sampah oleh masyarakatnya.

"Selain itu, okupasi sempadan sungai atau ruang kosong berupa ruang sejuk, ruang terbuka hijau ataupun ruang-ruang serapan air dan kontrol pengambilan air tanah, juga seharusnya perlu digalakkan lagi," kata Galuh.

Minimnya ruang terbuka hijau sebagai penyerapan air, serta pengambilan air tanah tanpa kontrol akan berpotensi menjadikan air di dalam tanah berkurang.

"Kalau air di dalam tanah berkurang, maka itulah juga membuat penurunan tanah terjadi," tegasnya.

Sub-sistem ekologi

Menurut Galuh, penurunan kualitas ekologi di Jabodetabek secara umum dapat dilihat dari terkonversinya lahan-lahan hijau menjadi ruang terbangun.

Saat ini Jakarta menjadi kota beton, aspal dan semen. Ruang terbuka hijau (RTH) yang ada bahkan kurang dari 15 persen. Padahal fungsi dari RTH itu sendiri adalah sebagai kesatuan ekosistem.

"Pembangunan tidak terkendali di Jabodetabek menjadikan tanah semakin menurun, tanah resapan untuk air berkurang, dan membuat air mudah datang dan meningkat dari tahun ke tahun," tuturnya.

Selain itu, adanya beban bangunan terhadap tanah, dan ditambah ekstraksi air tanah berlebihan.

Baca juga: Apa Itu Krisis Iklim, Penyebab Banjir di Indonesia sampai Kebakaran di Australia?

Semua hal tersebut merupakan intervensi fisik manusia melawan konservasi ruang resapan air yang seharusnya.

Daerah Bogor dan Bekasi seharusnya menjadi daerah resapan air, tetapi saat ini telah banyak pembangunan.

"Yang tersisa terakhir ya wilayah puncak sebagai last wilayah resapan air Jabodetabek seharusnya," kata dia.

Meskipun, saat ini hutan di daerah Puncak sejak tahun 2000 hingga 2016, ada kurang lebih 75.000 Ha telah didirikan berbagai bangunan dan fasilitas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com