Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Exoplanet dengan Lautan Magma Bisa "Memakan" Langit Sekitarnya

Kompas.com - 29/12/2019, 20:03 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

Sumber Futurity

KOMPAS.com - Sebuah studi terbaru menemukan alasan mengapa planet ekstrasurya (exoplanet) jarang tumbuh lebih besar dari Neptunus. Hal ini lantaran lautan magma planet dapat memakan langit di sekitar mereka.

Dikutip dari Futurity.org, pada tahun 2014, Teleskop Luar Angkasa Kepler milik NASA merekam lebih dari 700 planet baru yang jauh, bahkan banyak di antaranya belum pernah dilihat sebelumnya.

Para ilmuwan mengambil survei terhadap planet-planet yang lebih kecil dari Jupiter.

Banyak di antara planet tersebut seukuran atau lebih besar dari Bumi. Namun, semua tak ada yang mencapai ukuran Neptunus.

Baca juga: Planet Sembilan yang Misterius Diduga Bukan Planet, tetapi Lubang Hitam

Menurut Asisten Profesor di Departemen Ilmu Geofisika di University of Chicago, Edwin Kite, bahwa dalam data yang ada seolah seperti tepi tebing yang cukup dramatis.

"Apa yang membingungkan kami adalah mengapa planet-planet cenderung berhenti tumbuh melampaui tiga kali ukuran Bumi," kata Kite.

Sementara, dijelaskan para peneliti bahwa hal itu terjadi karena lautan magma di permukaan planet-planet ini siap menyerap atmosfer disekitar mereka saat planet tersebut mencapai sekitar tiga kali ukuran Bumi.

Mekanisme magma 'memakan' atmosfer

Kite, menjadi salah satu akademisi yang fokus mempelajari sejarah Mars dan iklim dunia lain.

Kata dia, sebagian besar planet yang sedikit lebih kecil dari ukuran drop-off, dianggap memiliki samudera magma di permukaannya, yaitu berupa lautan besar batuan cair seperti yang pernah menutupi bumi.

Lautan besar batuan cair tersebut bersuhu panas dan terselimuti oleh tebalnya atmosfer yang kaya hidrogen.

"Sejauh ini, hampir semua model (analisis penelitian) kami telah mengabaikan magma ini, memperlakukannya sebagai lembam secara kimia, tetapi batuan cair itu hampir sama berairnya dengan air dan sangat reaktif," ujar Kite.

Dalam skenario atau teori yang diciptakan oleh Kite dan timnya, ketika planet memperoleh lebih banyak gas, ia menumpuk di atmosfer, dan tekanan di bagian bawah di mana atmosfer bertemu dengan magma mulai terbentuk.

Pada awalnya, magma mengambil gas yang ditambahkan pada tingkat yang stabil, tetapi ketika tekanan naik, hidrogen mulai lebih mudah larut ke dalam magma.

"Tidak hanya itu, tetapi sedikit gas tambahan yang tetap di atmosfer, meningkatkan tekanan atmosfer, dan dengan demikian fraksi yang lebih besar dari gas yang datang kemudian akan larut ke dalam magma," tuturnya.

Oleh sebab itulah, pertumbuhan planet terhenti sebelum mencapai ukuran Neptunus. Karena sebagian besar volume planet-planet ini ada di atmosfer, jadi jika atmosfer menyusut, maka menyusut pula planet-planet tersebut.

Para penulis menyebut ini "fugacity crisis", setelah istilah yang mengukur seberapa mudah gas larut ke dalam campuran daripada apa yang diharapkan berdasarkan tekanan.

Baca juga: Planet Sembilan yang Misterius Diduga Bukan Planet, tetapi Lubang Hitam

Potensi penelitian di masa depan

Skenario atau teori di atas, kata Kite, sejauh ini sangat cocok dengan pengamatan yang ada. Ada beberapa penanda yang bisa dicari para astronom di masa depan.

Sebagai contoh, jika teori itu benar, maka planet-planet dengan lautan magma yang cukup dingin untuk mengkristal di permukaan akan menampilkan penampakan yang berbeda, karena ini akan mencegah lautan magma tersebut menyerap begitu banyak hidrogen.

Sementara survei yang sedang dan yang akan datang dari TESS dan teleskop, diharapkan memberikan data lebih banyak kepada astronom untuk bekerja.

"Tidak ada yang seperti dunia ini di tata surya kita," ujar Kite.

Meskipun, kata Kite, hal ini diharapkan menjadi solusi untuk salah satu teka-teki terkait eksoplanet sub-Neptunus, tetapi ada banyak hal lagi yang semestinya akan diajarkan kepada kita.

Penelitian ini sudah diterbitkan dalam Astrophysical Journal Letters. Dengan pendanaan penelitian dari NASA, NSF, Penn State, Eberly College of Science, Pennsylvania Space Grant Consortium, Univeritas Washington, dan Universitas Stanford.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Futurity
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com