KOMPAS.com - Gerhana Matahari, seperti yang baru kita saksikan kemarin (26/12/2019), ternyata tidak hanya memengaruhi manusia saja, tetapi juga memengaruhi respons biologis dan mengubah perilaku hewan.
Seperti dilansir dari akun media sosial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) @lipiindonesia; LIPI dan Universitas Tadulako pernah melakukan penelitian terhadap hewan saat terjadi Gerhana Matahari Total (GMT) di Indonesia pada 2016.
Penelitian tersebut dilakukan di Sulawesi Tengah meliputi Taman Nasional Lore Lindu, Cagar Alam Pengi Binangga, dan Pulau Kelelawar yang mengalami GMT dengan obskurasi 99 hingga 100 persen.
Penelitian itu telah dipublikasikan dengan judul "Effects of The Total Solar Eclipse of March 9, 2016 on The Animal Behaviour" oleh Sigit Wiantoro, Raden Pramesa Narakusumo, Eko Sulistyadi, Amir Hamidy, dan F Fahri dalam Journal of Tropical Biology and Conservation.
Baca juga: Mitos Gerhana Matahari, dari Jatuhnya Kepala Dewa sampai Tanda Kiamat
Hasilnya, beberapa hewan memang menunjukkan berbagai respons ketika ada perubahan mendadak pada kondisi alam. Berikut beberapa hewan yang diteliti oleh tim ahli:
Kelelawar jenis Pretopus alecto menunjukkan perilaku yang berbeda selama GMT. Saat gerhana terjadi pada tanggal 9 Maret 2016, sarang mereka menjadi sangat sunyi. Semua kelelawar juga ditemukan menggantung dengan stabil, sambil menutupi tubuh mereka dengan sayap.
Kondisi tersebut berlanjut hingga pukul 09.15 WITA, yaitu saat setengah dari gerhana parsial kedua.
Pada pukul 09.30 WITA, beberapa individu mulai berperilaku seperti hari sebelumnya dengan terbang di sekitar sarang pohon.
Perilaku yang tidak biasa ini diperkirakan merupakan respons terhadap perubahan faktor lingkungan yang tiba-tiba terjadi selama GMT, terutama penurunan suhu dan kegelapan.
Baca juga: Gerhana Matahari Cincin di Singkawang Begitu Sempurna, Ini Rupanya
Respons terhadap GMT juga terjadi pada monyet hitam atau Macaca hecki yang merupakan salah satu primata diurnal (aktif di siang hari dan tidur di malam hari).
Pada saat terjadi GMT, monyet hitam jantan alfa yang dominan dalam kelompoknya mengeluarkan suara keras seperti "wa-wa-wa".
Suara seperti itu biasanya merupakan panggilan atau tanda situasi berbahaya dan sebagai perintah bagi individu lain untuk berkumpul.
Setelah itu, monyet hitam jantan alfa bergerak turun ke tanah, diikuti oleh monyet hitam lainnya membentuk lingkaran, dan monyet hitam jantan alfa tersebut berada di tengah lingkaran.
Ketika terjadi GMT, burung Maleo atau Macrocephalon maleo menunjukkan perilaku cemas yang diekspresikan oleh gerakan tidak teratur di kandang.
Maleo jantan terbang ke sarang buatan, yang dibentuk menggunakan cabang pohon di posisi yang lebih tinggi di dalam kandang, dan berperilaku seperti sedang beristirahat sebelum malam tiba.
Perilaku yang tidak biasa tersebut jarang terlihat selama hari normal.
Baca juga: Gerhana Matahari Cincin, Ini Persiapan Komunitas Astronomi di Singkawang
Pada umumnya, kumbang kotoran atau Paragymnopleurus planus memiliki perilaku mengumpulkan kotoran dengan membentuk bola dan menggelindingkannya ke sarangnya.
Ketika terjadi GMT, kumbang kotoran pada awalnya memperlambat kecepatan mendorong bola kotoran, kemudian berhenti dan bersembunyi dengan menguburkan diri di dalam tanah.
Saat gerhana matahari telah usai, kumbang ini kembali ke aktivitas normal.
Ketika terjadi GMT, katak dengan jenis Microhyla sp akan mengeluarkan suara seperti yang biasa dilakukannya pada saat malam hari.
Hal itu juga dilakukan oleh jangkrik dan tonggeret serta serangga malam lainnya seperti ngengat.
Ngengat itu sendiri justru tercatat aktif mendatangi light trap yang dipasang selama terjadi gerhana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.