Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisakah Penyakit Alzheimer Didiagnosis dengan Selai Kacang?

Kompas.com - 24/12/2019, 18:03 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

KOMPAS.com - Pada 2013 ada studi yang berteori bahwa selai kacang bisa dijadikan alat tes untuk mendiagnosis alzheimer, penyakit yang merusak memori dan fungsi mental.

Studi ini tentu saja menimbulkan sensasi, terlebih ketika banyak media mulai mengutip riset tersebut, termasuk Washington Post, yang kembali mengangkat tema ini tahun lalu.

Namun benarkah diagnosis penyakit bisa dilakukan dengan cara yang sangat sederhana ini?

Baca juga: Teknologi Baru Ini Bantu Ahli Deteksi Alzheimer Lewat Bola Mata

Tes selai kacang dan kritiknya

Untuk tes, pasien diminta mencium aroma selai kacang secara bergantian dengan lubang hidung kiri dan kanan. Ketika pasien mencium selai kacang dengan hidung kiri, hidung kanannya ditutup rapat. Begitupun sebalik.

Pasien mulai mengendus aroma selai kacang pada jarak 30 sentimeter.

Lalu jarak dikurangi satu sentimeter untuk setiap langkah, sehingga pasien dapat mengindentifikasi aroma produk.

Menurut studi tahun 2013 itu, penciuman pasien Alzheimer memiliki kekhasan.

Lubang hidung kiri secara signifikan lebih buruk daripada lubang hidung kanan.

Para peneliti mengaitkan hal ini dengan fakta bahwa bagian kiri lobus frontal otak lebih banyak dipengaruhi oleh penyakit Alzheimer.

Indera penciuman juga ada di bagian otak ini.

Namun menurut Richard Dodel, Profesor bidang Geriatrik di Universitas Duisburg-Essen, Jerman, penjelasannya tidak semudah itu.

"Studi ini dilakukan dengan subyek uji yang terlalu sedikit dan prosedurnya tidak cukup standar," ia mengkritik.

Sebagai contoh, penelitian ini, hanya memiliki 92 subyek dan tidak memiliki informasi tentang merek selai kacang yang digunakan.

"Komposisi minyak dapat membuat perbedaan besar dalam persepsi," jelas Dodel.

Ada juga banyak kemungkinan hal lain yang menyebabkan indra penciuman terbatas.

Tahun 2014, kelompok peneliti kedua mencoba menjalankan studi yang sama untuk mengkonfirmasi hasilnya, namun tidak sukses.

Opsi diagnostik untuk penyakit Alzheimer

Penyakit Alzheimer dapat didiagnosis bertahun-tahun sebelum gejala pertama menjadi nyata.

Hingga kini ada tiga prosedur, yaitu dua prosedur pencitraan dan satu prosedur invasif yang mendominasi.

Menurut Dodel, apa yang disebut amiloid PET (positron emission tomography) dapat mendeteksi fragmen protein tertentu, yang disebut plak, di otak, 15 hingga 20 tahun sebelum gejala klinis pertama.

Dalam metode kedua, FDG-PET, sel-sel otak diperiksa untuk melihat seberapa cepat mereka mampu mendegradasi molekul gula tertentu. Area otak yang tidak lagi memroses molekul secara normal berarti sudah rusak, jelas Dodel.

Metode ketiga melibatkan pemeriksaan cairan serebrospinal. Di sini juga, dokter melihat konsentrasi protein tertentu.

Ketika gejala pertama muncul, tiga metode pertama tetap menjadi pilihan.

Namun, tes neuropsikometrik baru sedang ditambahkan.

Dengan menggunakan berbagai kuesioner dan pemeriksaan, dokter menguji otak pasien.

Salah satu tes paling terkenal adalah tes jam.

Pasien diminta untuk menulis angka dari satu hingga dua belas pada sebuah gambar jam.

Pasien kemudian diminta untuk menggambarkan waktu tertentu. Jika ini tidak lagi berfungsi, atau jika hasilnya berubah secara aneh, ini adalah indikasi yang sangat jelas dari demensia tingkat lanjut.

Apakah ini benar kasus Alzheimer, harus diuji dengan pemeriksaan psikometri yang lebih rinci.

Pencegahan lebih baik daripada perawatan

Justru karena saat ini belum ada obat untuk penyakit Alzheimer, para ahli seperti Richard Dodel merekomendasikan tindakan pencegahan.

"Pendidikan adalah faktor yang sangat penting," kata dokter itu.

Pendidikan yang baik pada sepertiga pertama fase kehidupan dapat mengurangi risiko pengembangan Alzheimer hingga delapan persen.

Dengan bertambahnya usia, faktor-faktor lain ikut berperan. Sebagai contoh, sangat penting untuk mengkompensasi gangguan pendengaran dan penglihatan dengan alat bantu dengar dan alat bantu penglihatan.

Jika otak tidak lagi digunakan secara normal di area-area ini, penyakit akan berkembang.

"Latihan juga merupakan faktor utama," kata Dodel, yang merekomendasikan untuk menari.

"Tango lebih baik daripada berdansa waltz. Karena pada titik tertentu kita dapat melakukan waltz secara tidak sadar, tetapi dengan Tango kita selalu harus memikirkan langkah-langkah rumit," jelasnya.

Baca juga: Selain Bersihkan Area Mulut, Gosok Gigi Bisa Turunkan Risiko Alzheimer

Kelebihan berat badan, diabetes dan penyakit pembuluh darah juga merupakan faktor risiko tambahan.

Karena itu, merokok, alkohol, dan diet yang tidak seimbang juga dapat meningkatkan risiko.

Terakhir tetapi tidak kalah pentingnya, melakukan kontak teratur dengan orang lain. Kesepian dan isolasi sosial membuat otak kurang aktif.

"Jika Anda dapat mengantisipasi semua faktor risiko, Anda dapat mengurangi risiko hingga 35 persen," tandas Dodel.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com