Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Strategi Jangka Benah, Solusi Persoalan Lahan Kelapa Sawit Indonesia

Kompas.com - 24/12/2019, 13:04 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Persoalan tanaman kelapa sawit masih menjadi polemik berkelanjutan, karena satu sisi dinilai sebagai penopang perekonomian Indonesia, tetapi di sisi lain dianggap sebagai penyebab terbesar kerusakan ekosistem hutan di Indonesia.

Menurut GAPKI, di tahun 2018 sumbangan devisa minyak kelapa sawit mencapai US$20,54 miliar atau setara Rp289 triliun. Namun, kerugian yang ditanggung pun dianggap tak ternilai.

Ekspansi kelapa sawit ke dalam hutan dan sistem monokulturnya dianggap sebagai penyebab hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi kualitas ekosistem hutan, dan bencana alam.

Dikatakan Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, Riki Frindos, penyelesaian terhadap permasalahan ini memerlukan strategi kebijakan yang komprehensif.

Baca juga: Minyak Kelapa Sawit dan Karhutla di Indonesia, Apa Hubungannya?

"Bukan hanya menghentikan ekspansi kebun kelapa sawit, tetapi juga bagaimana meminimalisir dampak dari ekspansi, baik terhadap lingkungan, sosial, maupun ekonomi masyarakat," kata Riki, Palangkaraya, Rabu (18/12/2019).

Melalui Strategi Jangka Benah (SJB), kata Riki, tujuan utama peningkatan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sawit serta komoditas lain secara berkelanjutan dapat tercapai.

Strategi Jangka Benah (SJB)

Dijelaskan Riki, SJB merupakan salah satu upaya yang ditawarkan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada bersama Yayasan Kehati untuk menyelesaikan masalah kebun kelapa sawit rakyat monokultur yang “terlanjur” berada di dalam kawasan hutan.

Jangka Benah adalah periode waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur hutan dan fungsi ekosistem yang diinginkan sesuai tujuan pengelolaan.

Dalam SJB, proses perbaikan struktur dan fungsi ekosistem hutan yang rusak akibat ekspansi kebun kelapa sawit monokultur dilakukan secara bertahap, dengan fokus perbaikan pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat.

Tahap pertama dalam sosialiasi SJB adalah mengubah kebun kelapa sawit rakyat monokultur di dalam kawasan hutan menjadi kebun campur sawit dalam bentuk agroforestri.

Baca juga: Serikat Petani Kelapa Sawit Tanggapi Pernyataan Jokowi dan Prabowo dalam Debat Capres

Jenis tanaman yang akan ditanam antara lain yaitu sengon, gaharu, meranti, dan jengkol. Tanaman-tanaman tersebut dipilih selain memberikan dampak ekologis, juga dapat memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat.

"Namun, agroforestri sawit tidak benar-benar berjalan mulus," ujarnya.

Hasil identifikasi Fakultas Kehutanan UGM (2018) menunjukkan bahwa sebenarnya praktik penanaman sawit campur dengan tanaman kehutanan (agroforestri sawit) sudah dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia, namun dalam skala terbatas.

Alasannya, petani sawit masih mempunyai keraguan untuk mengadopsi agroforestry sawit terutama karena mempunyai asumsi bahwa mengelola agroforestri kelapa sawit lebih rumit dibandingkan dengan mengelola kebun kelapa sawit monokultur.

Asumsi lainnya, kata Riki, yaitu bahwa penambahan jenis lain pada kebun kelapa sawit monokultur pada satu bidang lahan yang sama akan menyebabkan turunnya produksi tandan buah segar sawit.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau