Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Benih Lobster, Ahli Paparkan Dampak dan Peraturan Penangkapannya

Kompas.com - 19/12/2019, 12:11 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Rencana Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo untuk memberi izin ekspor benih lobster menuai kontroversi.

Salah satunya dapat dari Menteri KKP periode sebelumnya, Susi Pudjiastuti.

Melalui Instagram dan Twitter, Susi menyampaikan dengan tegas ketidaksetujuannya atas rencana Edhy mengijinkan ekspor lobster.

Susi menganggap benih lobster yang ditangkap dan dijual ke negara lain akan merugikan Indonesia, baik dari segi finansial maupun keutuhan ekosistem.

Baca juga: Beda Pandangan Susi, Edhy, hingga Jokowi soal Ekspor Benih Lobster...

"Lobster yang bernilai ekonomi tinggi tidak boleh punah, hanya karena ketamakan kita untuk menjual bibitnya; dengan harga seperseratusnya pun tidak. Astagfirullah... karunia Tuhan tidak boleh kita kufur akan nikmat dari-Nya," tulis Susi di akun Twitter @susipudjiastuti.

Selama menjabat Menteri KKP 2014-2019 Susi terkenal tegas melindungi keberadaan telur dan benih lobster di lautan.

Ia melarang keras segala bentuk penangkapan apalagi penjualan benih-benih lobster.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.56/Permen-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia.

Berkaitan dengan hal ini, pakar krustasea atau udang-udangan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rianta Pratiwi angkat bicara.

"Saya setuju sekali dengan pendapatnya ibu Susi," kata Rianta dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Kamis (19/12/2019).

Menurut Rianta, jika benih lobster bebas diambil oleh nelayan untuk diekspor, maka imbasnya adalah kehancuran ekosistem.

Untuk diketahui, lobster hidup di terumbu karang.

Satu induk lobster bisa menghasilkan ratusan telur yang kemudian berubah menjadi larva.
Dari mulai telur, larva, hingga menjadi dewasa, semuanya tinggal di terumbu karang.

"Kalau larva yang ada di terumbu karang itu diambil dalam jumlah banyak dan serampangan, artinya menggunakan alat tidak ramah lingkungan, pasti akan merusak terumbu karang," kata Rianta.

Terumbu karang yang rusak akan merusak semua biota yang tinggal di dalamnya. Terlebih, terumbu karang adalah rumah bagi aneka ikan, teripang, bintang laut, kepiting bakau, dan gurita. Bukan cuma tempat tinggal lobster.

"Jika terumbu karang rusak, pastinya akan merusak seluruh lingkungan," jelas Rianta.

Bukan hanya sekadar nilai jual

Lobster merupakan hewan laut dengan nilai jual tinggi. Namun, ini lobster dewasa bukan yang masih bibit.

Ada enam jenis lobster yang dapat ditemukan di Indonesia, salah satu yang termahal adalah lobster mutiara (Panulirus ornatus).

Lobster mutiara terkenal memiliki daging lembut. Untuk satu sajian lobster mutiara, harganya bisa mencapai Rp 2 juta.

Sementara untuk lobster mutiara dengan berat 1,2 sampai 1,4 kilogram, harganya minimal Rp 5 juta per kilogram.

Pesatnya permintaan lobster, disebut WWF telah meningkatkan kehidupan nelanyan di seluruh dunia.

Namun, efek dari penangkapannya yang tetap dan dapat diprediksi, jarang dipertimbangkan.

Sebagai contoh, data dari situs resmi WWF menyebut bahwa lobster yang dulunya melimpah di Lombok Selatan dan Lombok Tengah kini hanya bisa didapat tergantung musim.

Tangkapan lobster di bulan Mei hingga akhir tahun, saat angin kencang musim selatan terjadi, sangat sedikit atau bahkan tak ada tangkapan sama sekali.

"Ketika lobster besar sulit ditangkap, tak diragukan benih dipanen demi kelangsungan hidup nelayan," tulis WWF.

Dan ambisi untuk memenuhi kebutuhan ini membuat para nelayan menciptakan alat tangkap benih lobster, salah satunya yang dibuat oleh nelayan Lombok adalah pocong.

Pocong terbuat dari karung plastik yang berfungsi sebagai subtrat untuk benih lobster yang ditangkap. Setelah dipanen nelayan, benih itu dibawa ke kolam penampungan.

"Dalam perspektif yang lebih dalam, eksploitasi benih lobster sebenarnya sangat merugikan perikanan di Lombok. Secara ekonomi, harga per ekor sangat murah, dan secara ekologis, kondisi ini berkontribusi pada dampak negatif pada keberlanjutan lobster," tulis WWF.

"Siklus hidup lobster membutuhkan waktu yang cukup lama (3 sampai 4 tahun untuk mencapai usia remaja). Eksploitasi besar-besaran lobster menyebabkan rekrutmen penangkapan ikan yang berlebihan, mengancam keberlanjutan stok lobster dalam kehidupan alami," imbuh WWF.

Baca juga: Serba Serbi Hewan: Alasan Lobster Berubah Jadi Merah saat Dimasak

Peraturan penangkapan lobster

Untuk penangkapan lobster dan segala jenis ikan yang ada di laut, sebenarnya sah-sah saja. Asal, bukan bibitnya yang diambil dan berdasar pada peraturan yang berlaku.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI) Nomor 1/permen/KP/2015 tentang penangkapan lobster (Panulirus spp.), kepiting (Syclla spp.), dan rajungan (Portunus pelagicus spp.).

Permen tersebut menegaskan, penangkapan lobster diperbolehkan jika ukuran panjang karapas (cangkang keras) lebih dari delapan sentimeter, tidak dalam kondisi bertelur, dan beratnya lebih dari 100 gram.

Gambar pengukuran lobster. Boleh diambil jika panjangnya lebih dari 8 sentimeter. Gambar pengukuran lobster. Boleh diambil jika panjangnya lebih dari 8 sentimeter.

Selain itu, jika nelayan menangkap lobster yang sedang dalam keadaan bertelur maka wajib dilepaskan kembali ke laut.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com