Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/12/2019, 20:04 WIB
Monika Novena,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Saat ini, ada lebih dari 500.000 keping sampah luar angkasa yang ada di orbit Bumi.

Kepingan sampah ini dulunya merupakan bagian dari satelit-satelit yang diluncurkan dan sudah tak berfungsi lagi.

Celakanya, sampah-sampah ini berputar di sekitar planet dengan kecepatan yang luar biasa, mencapai 28.000 kilometer/jam.

Kalau dibiarkan, risiko tabrakan dengan satelit yang masih aktif tentu akan terjadi. Puing-puing juga berbahaya bagi misi luar angkasa dan mencemari pandangan astronom saat mengamati langit.

Baca juga: Satelit Mini Tunjukkan Cara Bersihkan Sampah Luar Angkasa

Badan Antariksa Eropa (ESA) pun mengungkapkan rencananya untuk membersihkan sampah-sampah ini.

Pada 2025, ESA berencana meluncurkan pengumpul sampah luar angkasa bernama ClearSpace-1.

ClearSpace-1 akan diluncurkan hingga ketinggian 500 kilometer di atas permukaan Bumi.

Robot empat tangan itu akan melacak sampah seperti permainan Pac-Man.

Misi tersebut mulai mengumpulkan sampah dari yang terkecil untuk membuktikan konsep robot pengumpul itu berhasil.

Potongan sampah yang dimaksud ini beratnya kira-kira sama dengan satelit kecil dan memiliki bentuk sederhana yang membuatnya mudah untuk digenggam dengan empat lengan robot.

Setelah aman, maka sampah tersebut akan diseret keluar dari orbit dan dibiarkan terbakar di atmosfer.

Baca juga: Galaksi Cincin Misterius yang Membingungkan Astronom

Sayangnya cara itu juga akan menghancurkan pengumpul. Namun di masa depan, ESA berharap dapat menciptakan cara bagi robot untuk mengambil dan mengeluarkannya dari orbit secara aman.

"Masalah sampah luar angkasa ini lebih mendesak daripada sebelumnya. Saat ini kita memiliki hampir 2000 satelit aktif dan 3000 non aktif. Tahun-tahun mendatang jumlah satelit tentu akan terus meningkat," kata Luc Piguet, CEO ClearSpace.

Tantangan dari misi pengumpulan sampah ini terdapat pada biayanya yang mahal. Misi ClearSpace sendiri menelan biaya sekitar 129 Juta dollar Amerika atau sekitar Rp 1,8 triliun.

Sementara opsi lain yang lebih murah, seperti menggunakan sampah sebagai bahan bakar, belum ada yang berhasil.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com