KOMPAS.com - Bigfoot selama ini dikenal sebagai mahluk legenda berukuran raksasa.
Namun siapa sangka, di dunia nyata memang pernah ada kera berbulu raksasa yang berjalan dengan dua kaki.
Kera tersebut berukuran dua kali manusia dewasa dan berkeliaran di hutan-hutan Asia Tenggara.
Kera bernama Gigantopithecus blacki ini memiliki tinggi sekitar 3 meter dan beratnya mencapai 270 kilogram. Namun, G. blacki kemudian punah sekitar ratusan atau ribuan tahun yang lalu.
Baca juga: Otak Fosil Ini Setengah Manusia, Setengah Kera
Peneliti pertama kali menemukan fosilnya pada tahun 1935.
Namun jangan kira peneliti mendapatkan fosil yang lengkap. Tim hanya menemukan tulang rahangnya di sebuah toko obat tradisional di Hong Kong.
Tulang itu ditawarkan sebagai gigi naga. Ketiadaan kerangka lain yang ditemukan membuat para peneliti akhirnya memiliki banyak spekulasi mengenai kerangka itu.
"Ini spesies yang penuh teka-teki," kata Enrico Cappellini, seorang profesor di Institut Globe University of Copenhagen, dilansir Live Science, Kamis (14/11/2019).
Namun kini setelah melakukan studi genetik pada gigi berumur 1,9 juta tahun, peneliti baru bisa mendapatkan informasi yang lebih mendalam.
Tim peneliti menggunakaan pengurutan protein pada enamel gigi.
Teknik baru yang dikenal sebagai palaeoproteomics ini dapat digunakan pada fosil yang berumur sangat tua untuk melestarikan DNA.
Hal tersebut memungkinkan peneliti untuk merekonstruksi evolusi dalam 50.000 tahun terakahir.
Hasilnya sungguh mengejutkan, studi mengungkapkan jika Gigantopithecus blacki adalah kerabat dekat dari orangutan moderen.
Garis keturunan kera raksasa itu kemudian diperkirakan berpisah dari sepupunya sekitar 12 juta hingga 10 juta tahun yang lalu.
Meski begitu Cappellini menggarisbawahi, meski bukti baru mengkonfirmasi hubungan evolusi yang erat antara Gigantopithecus dengan orangutan, data tersebut tidak dapat memberi tahu peneliti seperti apa kera yang sudah punah itu.
"Ini terlihat seperti orangutan, studi genetik berhasil menyelesaikan perdebatan. Namun informasi yang kami miliki tidak memberikan pengetahun lebih lanjut dalam hal fisiologi, biologi, dan penampilan hewan," tutur Cappellini.
Baca juga: Jangan Ditanyakan Lagi, Ini Alasan Kera Tidak Berevolusi Jadi Manusia
Studi genetik tersebut juga merupakan penelitiaan fosil tertua yang diambil dari daerah tropis.
Kondisi panas dan lembab lebih sering membuat bahan genetik meluruh dengan cepat.
"Sampai sekarang, di daerah yang hangat dan lembab hanya mampu untuk mengambil informasi genetik dari fosil berusia 10.000 tahun," kata Frido Welker, peneliti lain yang terlibat dalam studi ini dilansir CNN, Rabu (13/11/2019).
Keberhasilan metode ini meningkatkan kemungkinan lain untuk mempelajari primata yang sudah punah di daerah tropis.
Penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal Nature.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.