Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Ditanyakan Lagi, Ini Alasan Kera Tidak Berevolusi Jadi Manusia

Kompas.com - 20/08/2017, 20:04 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com -- Tim jurnalis sains di Washington Post pernah mendapat sebuah pertanyaan menarik. Kira-kira begini bunyinya: “Mengapa tidak ada Hominini yang tersisa di bumi? Kalau evolusi selalu terjadi dan spesies selalu berubah dan beradaptasi, tidakkah kita seharusnya bisa melihat spesies manusia baru yang merupakan hasil evolusi dari kera?”

Di Indonesia pun, pertanyaan ini sering kali ditanyakan, meskipun sebenarnya ada banyak kesalahan di dalamnya.

Pertama-tama, Homininii yang merupakan bahasa ilmiah untuk manusia masih ada di bumi, yaitu kita yang Homo sapiens.

(Baca juga: Fosil Baru Mengungkap Wajah Nenek Moyang Manusia dan Kera)

Lalu, kita termasuk kelompok kera besar yang disebut sebagai keluarga taksonomi hominid atau hominidae. Begitu juga neanderthal, australopitechus, manusia purba lain, orangutan, gorila, bonobo dan simpanse yang berevolusi dari nenek moyang yang sama sekitar 14 juta tahun yang lalu.

Jadi, bisa dibilang bahwa makhluk yang kini kita sebut kera bukanlah nenek moyang, tetapi saudara jauh kita.

“Bertanya mengapa gorila tidak berevolusi menjadi manusia purba sama dengan bertanya mengapa anak-anak dari sepupu Anda tidak mirip Anda,” kata Matt Tocheri, seorang dosen antropologi di Lakehead University dan peneliti dari Program Asal Manusia di National Museum of Natural History.

Dia melanjutkan, makhluk-makhluk ini sudah memiliki garis keturunannya sendiri selama 10 juta tahun. Mereka tidak bisa mundur kembali dan turun menjadi manusia.

Selain itu, belum tentu para gorila, bonobo, simpanse, dan kera-kera modern lainnya ingin menjadi manusia.

(Baca juga: Apakah Manusia Masih Berevolusi?)

Nina Jablonski, seorang paleoantropolog di Evan Pugh University berkata bahwa evolusi tidak selinear dan seprogresif yang Anda kira, meskipun sangat mudah untuk membayangkannya sebagai amoba bersel satu yang terus menerus berubah menjadi semakin kompleks hingga berakhir sebagai manusia.

Di dunia nyata, evolusi justru lebih suka menyederhanakan dan menghilangkan fitur-fitur tubuh yang dianggapnya tidak diperlukan.

Itulah sebabnya makhluk-makhluk yang hidup di gua dan laut dalam kehilangan pengelihatannya, dan paus yang merupakan keturunan mamalia darat hampir kehilangan seluruh tulang kakinya. Bahkan, landak laut yang nenek moyangnya memiliki otak kini tidak memiliki sistem sistem saraf pusat sama sekali.

Jablonski mengatakan, evolusi adalah usaha untuk bertahan hidup dalam kondisi tertentu, dan mutasi acak. Ada elemen keberuntungan yang besar dan tidak ada elemen arah di dalamnya. Makhluk hidup hanya berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

Hal ini pun terlihat pada keberagaman Hominini di tahap evolusi awal. Australopithecus afarensis, misalnya, berevolusi untuk memiliki pinggang seperti manusia agar bisa berjalan dengan dua kaki dan membawa benda. Kemampuan ini sangat diperlukan untuk mengumpulkan makanan di padang rumput.

(Baca juga: Mengenang 200 Tahun Charles Darwin)

Sementara itu, Paranthropus robustus yang hidup di lingkungan kering berevolusi untuk memiliki rahang yang kuat agar bisa mengunyah makanan yang keras, dan Homo habilis yang memiliki otak yang besar membantu mereka untuk membuat alat-alat dari batu.

Namun, seiring dengan perkembangan alat-alat yang dapat dibuat, spesies Hominini yang lebih baru tidak lagi harus memilih antara gusi yang besar untuk mengunyah biji atau taring yang tajam untuk menyobek daging. Menggunakan alat yang mereka ciptakan, Hominini yang lebih modern bisa memotong makanan mereka dan mengonsumsinya.

Halaman:



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau