Kedua, laporan SROCC menekankan bahwa terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling sensitif dibandingkan dengan ekosistem lainnya seperti padang lamun dan mangrove.
Kondisi ini berpengaruh bagi Indonesia yang memiliki padang lamun terluas di Asia Tenggara dan 23% mangrove di dunia. Menurunnya jasa ekosistem lamun dan mangrove dapat mengurangi peran ekosistem laut pesisir dalam menyerap emisi karbon.
Ketiga, pemanasan laut dapat menambah beban sektor perikanan dalam menghadapi isu overfishing dengan menekan potensi tangkapan ikan maksimal hingga sekitar 30% di perairan Indonesia apabila emisi gas rumah kaca dibiarkan meningkat sepanjang abad 21. Kombinasi antara pemanasan dan pengasaman laut juga berdampak negatif pada stok ikan dan binatang bercangkang, seperti kerang mutiara dan lobster.
Untuk dapat mengambil langkah adaptasi yang efektif, kita perlu memahami berbagai penyebab degradasi lingkungan laut yang tidak selalu disebabkan oleh perubahan iklim.
Salah satu contoh klasik adalah kenaikan permukaan laut di Jakarta yang lebih banyak disebabkan oleh penurunan permukaan tanah karena penyedotan air tanah.
Contoh lainnya, SROCC membedakan fenomena pengasaman atau penurunan pH air laut antara pengasaman laut (ocean acidification) dan pengasaman pesisir (coastal acidification).
Pengasaman laut merujuk kepada penurunan tingkat keasaman air laut akibat reaksi antara gas rumah kaca CO2 dan air laut. Namun, di kawasan perairan Indonesia juga terjadi pengasaman pesisir oleh aktivitas lokal manusia seperti pembuangan limbah, sehingga laju pengasaman air laut lebih tinggi dari tren global.
Solusi-solusi lokal seperti penanggulangan limbah yang efektif dan restorasi ekosistem lamun yang mempengaruhi pH air laut secara lokal dapat mengurangi dampak dari pengasaman air laut bagi masyarakat sekitar.
SROCC menjadi masukan ilmiah penting bagi negosiasi iklim dalam UN Framework Convention on Climate Change Conference (COP25) di Chile pada bulan Desember 2019 yang akan mengangkat tema kelautan atau ‘Blue COP’.
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki peran penting dalam mengambil langkah yang konkret dan realistis terhadap isu perubahan iklim.
Dalam laporan SROCC dipaparkan juga keuntungan yang diraih dari strategi adaptasi perubahan iklim yang ambisius dan efektif, seperti perlindungan terhadap masyarakat pesisir terutama daerah padat populasi atas dampak naiknya permukaan laut, yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan.
Berbeda dengan daratan yang menjadi penyebab dan korban dari perubahan iklim, SROCC memaparkan bahwa laut adalah korban dari perubahan iklim.
Kondisi laut yang semakin panas, asam dan kekurangan kadar oksigen memiliki implikasi bagi komitmen Indonesia dalam perlindungan keanekaragaman hayati maupun pemenuhan target Sustainable Development Goals.
Hal ini karena menurunnya kemampuan menjaga biodiversitas laut dari berbagai tekanan lingkungan, potensi mitigasi gas rumah kaca dari sektor kelautan, dan pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan.
Kajian ilmiah yang tertuang dalam SROCC, Blue COP serta UN Decade of Ocean Science (2021-2030) adalah momentum untuk melakukan langkah-langkah non business-as-usual dan inklusif yang akan diapresiasi oleh generasi mendatang.
Intan Suci Nurhati
Peneliti Iklim & Laut, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
Artikel ini ditayangkan di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel berjudul "Mencairnya lapisan es dan pengaruhnya bagi laut Indonesia. Ini kata panel ilmuwan PBB". Isi di luar tanggung jawab redaksi Kompas.com.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.