KOMPAS.com - Film Joker garapan sutradara Todd Phillips sudah lima hari menghiasi layar kaca Indonesia dan tetap menjadi perbincangan hangat.
Sisi kelam masa lalu Joker, dibungkus dengan akting memukau Joaquin Phoenix, menjadi salah satu kekuatan utama film ini.
Namun terlepas dari itu, salah satu yang menarik adalah munculnya kalimat 'Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti' dalam jagat maya. Tulisan ini banyak diunggah warganet setelah menonton film berdurasi 122 menit itu.
Tentu saja tak semua orang setuju dengan pernyataan tersebut. Banyak warganet yang justru beranggapan bahwa kalimat tersebut tidak relevan dan omong kosong.
Lantas, bagaimana psikolog memandang pernyataan 'orang jahat adalah orang baik yang tersakit'? Apakah kalimat tersebut benar, atau justru tameng untuk diri sendiri?
Baca juga: Tertawa Saat Sedih, Kondisi Karakter Joker Namanya PBA dan Bukan Fiksi
Menjawab pertanyaan ini, Kompas.com menghubungi psikolog sosial Solo Hening Widyastuti.
"Menurut saya pribadi, (pernyataan 'orang jahat adalah orang baik yang tersakiti') tidak benar," ujar Hening dihubungi Senin (7/10/2019).
Hening melihat, Joker dan ungkapan 'orang jahat adalah orang baik yang tersakiti', hanya berpengaruh pada pribadi-pribadi yang lemah secara emosi ataupun pikirannya. Hal ini bisa terjadi pada remaja dan juga orang dewasa.
"Meski hanya sebuah film, sebuah rangkaian cerita yang disusun terencana oleh penulis skenario, sutradara, tim kreatif, dan pemain, akan tetapi sebuah film mampu mendoktrin dan memengaruhi alam berpikir dan alam bawah sadar manusia, terutama mereka yang tidak stabil emosi dan pikirannya," ungkap Hening.
"Untuk kasus film Joker, tidak bisa dipukul rata. Apa yang dialami Joker hanya bisa terjadi pada jiwa yang lemah dalam prinsip dan konsep diri yang tidak kuat," sambung Hening.
Dia menjelaskan, pribadi yang lemah merupakan pribadi yang memiliki jwa tidak stabil dan tidak memiliki konsep diri yang kuat.
Ketika pribadi-pribadi yang lemah seperti karakter Joker tersakiti dan merasa hancur harga dirinya, entah itu karena perkataan, sikap, atau perilaku orang lain, maka si individu tersebut akan goyah jiwanya.
"Pada akhirnya untuk menetralisir rasa sakit, si individu akan melakukan pembenaran perkataan orang lain yang menyakiti dirinya," kata Hening.
Melakukan pembenaran maksudnya adalah bersikap 180 derajat dari sebelumnya. Dari yang tadinya sangat baik menjadi bersikap sangat dingin, jahat, bengis, keji, dan tidak berprikemanusiaan.
Masih menurut Hening, ketika seseorang dengan pribadi lemah dan pikiran tidak stabil menonton film Joker, apa yang dilakukan Joker bisa menjadi inspirasi mereka untuk melakukan sesuatu yang buruk di dunia nyata.