Kompas.com menghubungi ahli vulkanologi Surono dan meminta pendapatnya terhadap temuan baru tersebut. Secara spesifik, kami juga bertanya apakah temuan itu berguna sebagai masukan untuk sistem peringatan dini bencana.
Surono menyangsikan adanya manfaat tersebut. Pasalnya, menurut dia, tidak ada yang bisa benar-benar memprediksi tanda-tanda sebuah letusan, longsor, tsunami, dan bencana alam lainnya.
"Memangnya (peneliti) Jerman pernah pantau aktivitas gunung api atau daerah rawan longsor hingga (memberi) peringatan kapan akan terjadi letusan atau longsoran? Semua bisa bilang ini dan itu, setelah terjadi. Sebelumnya, memangnya bisa?" kata Surono lewat pesan teks, Jumat (5/10/2019).
Surono memberi contoh kejadian erupsi Gunung Kelud tahun 2007. Selama lebih dari 100 tahun sejak 1990, letusan Kelud selalu bersifat eksplosif. Namun dalam kejadian 2007, letusannya ternyata efusif, padahal tanda-tandanya mirip.
"Semua tanda-tanda (jelang letusan 2007) sama seperti jelang letusan eksplosif 1990. Ketahuan (begitu) dan semua ngomong bla bla bla (soal) penyebab letusan efusif setelah itu terjadi," ungkapnya.
Selain itu, peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG hanya berdasarkan ciri khusus sebuah gempa, yakni gempa di laut dengan kekuatan lebih dari M 5,0 dan kedalaman kurang dari 10 kilometer.
Sejauh pengamatan Surono, sulit memastikan apakah gejala terkait GAK adalah pertanda runtuhan atau akvitas vulkanik.
"Data GAK sulit untuk dibedakan, itu aktivitas vulkanik atau tanda-tanda (akan) longsor," jelasnya.
Sebagai ahli vulkanologi, Surono berpengalaman mengamati aktivitas gunung api dan gerakan tanah longsor. Menurut dia, sulit untuk benar-benar tahu kapan dan berapa volume longsor yang akan terjadi.
Baginya, yang terpenting adalah memberi keputusan yang tepat bagi masyarakat di sekitar lokasi bakal bencana.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.