Oleh Susilo Wibisono
KOMPAS.com - Aksi unjuk rasa mahasiswa di beberapa daerah yang mengecam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah atas pembahasan dan pengesahan beberapa aturan bermasalah termasuk revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tidak hanya mendapat pujian tapi juga kritik bahkan upaya delegitimasi.
Beberapa pihak mempertanyakan legitimasi aksi yang dilakukan ribuan mahasiswa ini dengan mengatakan bahwa para demonstran tidak memahami persoalan yang mereka tuntut. Apalagi ketika aksi lanjutan yang melibatkan siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Sekolah Teknik Menengah (STM) muncul dan menyeruak ke permukaan.
Kritik pun banyak dilayangkan khususnya [terkait dengan narasi bahwa siswa STM tidak memahami persoalan yang sedang terjadi]
Ada banyak narasi yang dibentuk untuk mendeligitimasi sebuah aksi demonstrasi. Salah satunya adalah dengan mempertanyakan pemahaman peserta aksi.
Beberapa akun twitter dengan menggunakan tagar #sayabersamaJokowi melakukan hal tersebut. Ini tidak hanya dilakukan terhadap aksi yang dimobilisasi oleh siswa-siswa STM, tetapi juga terhadap aksi yang dilakukan mahasiswa perguruan tinggi.
Hal ini juga terlihat dalam kasus lain.
Misalnya ketika beberapa kelompok orang melakukan unjuk rasa untuk mendukung revisi UU KPK, narasi kritik terhadap unjuk rasa juga diciptakan dengan secara gamblang mengatakan peserta unjuk rasa tidak memahami persoalan yang mereka tuntut.
Hal ini menunjukkan adanya anggapan bahwa demonstrasi seolah-olah harus dilandasi oleh pemahaman yang mendalam atas permasalahan dan tuntutannya.
Benarkah demikian? Apakah untuk bergabung dalam seruan global tentang krisis lingkungan seseorang harus paham betul seluk-beluk perubahan iklim dan kaitannya dengan politik? Apakah untuk bergabung dalam aksi menyelamatkan KPK, seseorang harus tahu detail pasal-pasal dalam revisi UU yang berpotensi melemahkan KPK?
Perlukah individu memiliki pengetahuan yang cukup untuk bergabung dalam sebuah tindakan kolektif seperti aksi unjuk rasa?
Menurut psikologi sosial, tindakan kolektif seperti aksi unjuk rasa tidak selalu didorong oleh proses kognitif yang sistematis, melainkan lebih dipengaruhi oleh faktor emosional seperti kemarahan pada level kolektif.
Jadi dalam perdebatan tersebut, memiliki asumsi bahwa demonstrasi yang mencerminkan aspirasi murni masyarakat harus diikuti dengan pemahaman yang mendalam para peserta aksi atas isu yang dituntutnya merupakan hal yang kurang tepat.
Dalam sebuah aksi unjuk rasa, pemahaman atas isu bukanlah faktor krusial yang mendorong munculnya sebuah partisipasi.
Aksi unjuk rasa merupakan salah satu contoh tindakan kolektif, yaitu tindakan yang dilakukan baik oleh individu maupun kelompok untuk mencapai sebuah tujuan bersama.