KOMPAS.com – Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan menimbulkan permasalahan di berbagai aspek. Wilayah yang mengalami karhutla seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan memang dipenuhi lahan gambut. Daerah-daerah seperti ini berpotensi lebih besar untuk terbakar terutama saat musim kemarau tiba.
Namun, kebakaran di wilayah-wilayah tersebut bukanlah terjadi karena faktor alam. Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto.
“Bencana kebakaran di lahan gambut bukan terjadi karena faktor alam,” tuturnya di Bandung beberapa waktu lalu.
Baca juga: Selain Manusia, Orangutan juga Terkena ISPA Gara-gara Karhutla
Eko mengumpamakan lahan gambut sebagai spons yang terbuat dari sisa-sisa tumbuhan yang menyimpan karbon alami, sehingga tidak mudah lepas di udara dan menyerap banyak air.
“Lahan gambut tidak pernah kering walaupun pada musim kemarau. Namun ketika air di permukaan gambut dikeluarkan, lahan akan sangat mudah terbakar,” tuturnya.
Api yang memantik kebakaran di lahan gambut, menurut Eko, bukan berasal dari api alam seperti gunung berapi dan petir. Sebagian besar lahan gambut di Indonesia jauh dari gunung berapi, sementara petir terjadi di musim hujan.
Lalu apa alasan lahan gambut bisa terbakar?
“Pertama, lahan gambut itu sudah sengaja dikeringkan setidaknya pada bagian atasnya. Kedua, ada manusia yang memantik api di permukaan gambut kering ini,” tutur dia.
Untuk apa lahan sengaja dikeringkan pada bagian atasnya? Eko menjelaskan, hal ini kerap dilakukan untuk membuat lahan pertanian dan perkebunan baru. Termasuk kelapa sawit, yang menimbulkan kontroversi tak berujung di antara para pegiat lingkungan.
“Sejak pertengahan dekade pertama abad 21, banyak sekali lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit,” tutur Eko kepada Kompas.com, Kamis (26/9/2019).
Eko menjelaskan bahwa sawit tidak bisa ditanam di lahan gambut jika muka air tanahnya tidak diturunkan. Kasus karhutla tahun 1997 menurutnya tidak bisa dibantah. Kasus ini terkait pengeringan masif lahan gambut untuk proyek sawah 1 juta hektar di Kalimantan Tengah.
“Lebih dari 4.000 km kanal dibuat di lahan itu untuk membuang air gambut, sehingga muka air tanah di lahan tersebut turun,” lanjutnya.
Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Deny Hidayati, memberikan beberapa rekomendasi kebijakan pengurangan risiko bencana.
“Penduduk harus dilibatkan dalam mengurangi risiko asap kebakaran hutan dan lahan dengan cara meningkatkan kesiapsiagaan penduduk desa,” tutur Deny dalam rilis LIPI.
Baca juga: Hujan Buatan Akan Dilakukan di Karhutla Sumatera dan Kalimantan
Selain itu, pengetahuan konstruksi bangunan seperti rehabilitasi rumah dan sekolah untuk mengurangi masuknya asap juga sangat diperlukan. Rekomendasi lainnya adalah terkait aspek perekonomian peduduk desa.
“Perlu adanya program perlindungan seperti asuransi petani terhadap keberlanjutan penghidupan penduduk, terutama pertanian dan perkebunan yang menjadi pekerjaan utama sebagian besar penduduk desa,” ungkap Deny.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.