Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/09/2019, 07:56 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

KOMPAS.com - Dampak kebakaran lahan dan hutan di sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan tidak hanya dialami manusia, tetapi juga orangutan. Dengan susunan DNA yang nyaris sama, orangutan rentan terkena masalah pernapasan.

Kabut asap yang sudah muncul sejak tiga bulan terakhir sangat memengaruhi kesehatan manusia dan orangutan.

Saat ada kabut asap, partikel debu, dan karbon sisa pembakaran dapat masuk ke saluran pernafasan dan menyebabkan reaksi alergi yang bisa memicu infeksi seperti bronkitis dan pneumonia akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh.

Baca juga: Beredar Foto Orangutan di Tengah Karhutla, Ini Kata WWF

Jamartin Sihite, Ketua Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) mengatakan hingga saat ini sudah ada 37 orangutan di yayasannya yang terkena penyakit infeksi saluran pernapasan atas (Ispa). Dari jumlah tersebut, sebanyak 31 di antaranya adalah orangutan muda berusia di bawah empat tahun.

"Sudah sekitar tiga bulan terpapar kabut asap. Kalau manusia bisa pakai masker, tapi kalau orangutan kan tidak bisa. Jadi tidak heran kalau mereka sakit, DNA-nya hampir sama, penyakitnya juga sama dengan manusia," ujar Jamartin dilansir Deutsche Welle Indonesia.

Jamartin yang saat dihubungi sedang berada di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, mengatakan tidak ada lahan yang terbakar di dalam kawasan pusat rehabilitasi orangutan yang dikelola oleh Yayasan BOS, baik yang berada di Kalimantan Timur maupun Kalimantan Tengah.

Namun ia mengaku api sempat membakar sedikitnya 80 hektare lahan gambut di sekitar lokasi rehabilitasi. Saat ini, ujarnya, api telah dapat dipadamkan dan masih dalam tahap pendinginan lahan.

Di Program Konservasi Mawas, Pusat Rehabilitasi Orangutan di Nyaru Menteng dan di Samboja Lestari tim dari BOS kini melakukan patroli dan pengawasan terhadap kemungkinan munculnya titik api di seluruh wilayah kerja sekaligus mencegah risiko kebakaran. Sampai saat ini belum ada evakuasi orang utan yang terancam kebakaran hutan dan lahan.

Terkait tingginya potensi bahaya kebakaran, Jamartin mengatakan pihaknya telah membuat sekitar 30 buah sumur bor di wilayah lahan gambut di sekitar area agar bisa mengendalikan api dengan cepat hingga datang pertolongan lanjutan.

Baca juga: Wiranto Sebut Karhutla Tak Parah, Citra Satelit NASA Berkata Lain

Orangutan butuh bantuan

Ketika ditanya apa yang paling dibutuhkan timnya dalam menghadapi situasi seperti sekarang, Jamartin mengatakan para staf yang bertugas memerlukan masker untuk dipakai dalam aktivitas keseharian.

"Selain itu kami juga butuh vitamin untuk orangutan, ini juga sama dengan vitamin untuk manusia. Karena kalau orang utan kondisi badannya sehat dia bisa lebih tahan terhadap perubahan ikllim dan pengaruh lingkungan sekitar," ujar Jamartin kepada DW Indonesia.

Terakhir, yang juga dibutuhkan adalah pompa air bertekanan tinggi untuk memadamkan api di lahan gambut.

"Karena kebakaran lahan gambut terjadi di bawah, jadi dari atas kelihatan oke tapi ternyata di bawah masih ada bara api. Karena itu butuh pompa air yang bertekanan tinggi agar bisa sampai ke bawah untuk memadamkan api," kata Jamartin.

Yayasan BOS didirikan tahun 1991 dan adalah organisasi nonprofit untuk konservasi orang utan di Kalimantan beserta habitatnya. Hingga kini BOS telah merawat lebih dari 500 orang utan di dua pusat rehabilitasi dan mempekerjakan 440 karyawan

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com