Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ribuan Demonstran Turun Jalan, Kenapa Gerakan Mahasiswa Selalu Terdepan?

Kompas.com - 25/09/2019, 11:41 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Gelombang protes atas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan UU KPK oleh DPR dan Pemerintah terus bergulir di tanah air, terutama dari kelompok mahasiswa.

Gerakan mahasiswa turun ke jalan tak hanya diikuti seribu dua ribu orang, tapi jutaan. Hingga hari ini, unjuk rasa ini dilakukan di sejumlah kota di Indonesia mulai dari Yogyakarta, Solo, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, hingga Sulawesi.

Warganet pun ikut mendukung gerakan mahasiswa dengan menggaungkan tagar #HidupMahasiswa di Twitter. Hingga pagi ini, tagar tersebut sudah dipakai dalam 1,79 juta twit.

Berbicara tentang gerakan mahasiswa, aksi seperti ini sudah lahir sejak ratusan tahun lalu. Sejarah mencatat unjuk rasa tertua dilakukan oleh mahasiswa Universitas Paris pada 1229.

Sementara di Indonesia, gerakan mahasiswa dilakukan jauh sebelum kemerdekaan dan seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.

Namun, kenapa gerakan mahasiswa selalu jadi yang terdepan dalam memperjuangkan suatu isu dan masalah bangsa?

Baca juga: Demonstran, Ini Penanganan Pertama Jika Terkena Gas Air Mata

Di Indonesia, gerakan mahasiswa merupakan kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam dan luar perguruan tinggi untuk meningkatkan kecapakan, intelektualitas, dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.

Rizqy Amelia Zein, dosen psikolog sosial dari Universitas Airlangga, Surabaya melihat ada dua faktor yang membuat mahasiswa selalu jadi yang terdepan ketika melakukan unjuk rasa secara umum.

Pertama, mahasiswa lebih mudah digerakkan dan lebih mudah bergerak karena mahasiswa memiliki lebih banyak waktu untuk memikirkan suatu persoalan.

Kedua, pada dasarnya peran mahasiswa secara sosial ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya pada revolusi dan perubahan.

"Perubahan itu asalnya dari mahasiswa, karena peran mereka (mahasiswa) secara historis dan sosial, mereka disiapkan untuk menjadi kelompok yang mengakselerasi (mempercepat) perubahan," kata Amel kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (25/9/2019).

Sementara dalam konteks yang terjadi sekarang, Amel melihat gerakan mahasiswa sedang menyuarakan hal-hal yang berbau ruang pribadi dan ruang publik.

"Keberatan utamanya adalah, pemerintah harusnya mengatur ruang publik tapi sampai (mengatur) ke ruang private," kata Amel.

"Lalu kemudian (pemerintah) menerjemahkan ruang publik dan ruang private sangat bermasalah, terutama UU Pencegahan Seksual (UU Penghapusan Kekerasan Seksual atau UU PKS)," imbuh Amel.

Beberapa orang menolak UU PKS karena dianggap mengancam ketahanan keluarga. Padahal, menurut Amel, ada aspek dari keluarga yang masuk ke ranah publik tapi itu dianggap sebagai hal pribadi dan ini seharusnya yang harus diregulasi oleh negara.

"Nah makanya keliru. Bagaimana membaca ruang publik dan ruang private ini jadi keberatannya mahasiswa," terang Amel.

Lekat dengan generasi Z dan milenial

Amel mengatakan, keberatan yang sedang disampaikan oleh mahasiswa kita sebenarnya sangat lekat dengan generasi Z dan milenial.

Untuk diketahui, generasi Z merupakan orang yang lahir di rentang tahun antara 1995 sampai 2010, sementara generasi milenial merupakan orang yang lahir di awal 1980-an hingga awal 2000-an.

Ribuan mahasiswa mengikuti aksi #GejayanMemanggil di Simpang Tiga Colombo, Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (23/9/2019). Dalam aksi demonstrasi yang diikuti oleh ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta itu, mereka menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi serta mendesak pemerintah dan DPR mencabut UU KPK yang sudah disahkan.ANTARA FOTO/ANDREAS FITRI ATMOKO Ribuan mahasiswa mengikuti aksi #GejayanMemanggil di Simpang Tiga Colombo, Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (23/9/2019). Dalam aksi demonstrasi yang diikuti oleh ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta itu, mereka menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi serta mendesak pemerintah dan DPR mencabut UU KPK yang sudah disahkan.

Menurut Amel, baik generasi milenial dan generasi Z lebih banyak memberi perhatian pada privasi, apa yang boleh diatur dan tidak boleh diatur, dan lain sebagainya.

Dia menjelaskan, generasi milenial dan generasi Z adalah kelompok yang akan merasakan dampak besar pada regulasi ruang pribadi dan ruang publik.

Inilah yang membuat mahasiswa merasa ada hal-hal yang perlu diperjuangkan, baik secara independen yang diputuskan sendiri atau isu publik yang harus diregulasi negara.

"Pada dasarnya, orang-orang yang ada di DPR yang membuat Undang Undang kan orang-orang yang mindset-nya zaman purba semua, sedangkan dampaknya itu akan lebih banyak diterima atau dibebankan pada generasi yang sekarang demonstrasi. Ya tentu saja mereka protes dan keberatan," ungkap Amel.

"Sebenarnya gerakan mahasiswa dari dulu prinsipnya sama, yakni memprotes elit-elit yang enggak pernah mau mikirin mereka (generasi muda), padahal keputusan yang mereka (DPR) ambil berdampak buat mereka," tegasnya.

Mahasiswa tak apatis, penggemar K-Pop ikut turun

Dari apa yang dilakukan oleh para mahasiswa, Amel melihat anggapan bahwa mahasiswa saat ini apatis itu tidak benar.

Bahkan Amel mengatakan, mahasiswa dan anak muda penggemar K-Pop juga sampai ikut turun ke jalan untuk ikut menyuarakan masalah ini.

"Ini menarik, artinya anak (K-Pop) punya concern terhadap isu publik yang sangat besar," ujar Amel.

Catatan sejarah gerakan mahasiswa

Gerakan mahasiswa di Indonesia dimulai jauh sebelum kemerdekaan.

Dilansir katadata.co.id, Boedi Oetomo adalah wadah perjuangan pertama di Indonesia yang memiliki struktur organisasi modern. Boedi Oetomo didirikan di Jakarta pada 20 Mei 1908 oleh mahasiswa lembaga pendidikan STOVIA.

Aksi massa unjuk rasa di Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Jawa Barat, berakhir ricuh, Selasa (24/9/2019). Momen emosional saat salah seorang mahasiswa merangkul anggota TNI sambil menangis.KOMPAS.com/AGIE PERMADI Aksi massa unjuk rasa di Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Jawa Barat, berakhir ricuh, Selasa (24/9/2019). Momen emosional saat salah seorang mahasiswa merangkul anggota TNI sambil menangis.

Pada saat yang hampir bersamaan, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, termasuk Mohammad Hatta mendirikan Indische Vereeninging yang merupakan cikal bakal Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.

Organisasi-organisasi tersebut merupakan penanda munculnya kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai penggerak perubahan dalam sejarah Indonesia.

Beberapa tahun setelahnya, semakin banyak organisasi pemuda dan mahasiswa muncul di berbagai kota.

Kemudian, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) mendorong ide persatuan hingga melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.

Perjuangan menjelang proklamasi kemerdekaan pun tak bisa dilepaskan dari peran para pemuda dan mahasiswa.

Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok oleh kelompok Chairul Saleh dan Soekarni. Di sana, mereka mendesak proklamasi segera dilakukan.

Setelah kemerdekaan, aliansi kelompok mahasiswa semakin marak. Pada 1965-1966 tercatat beberapa kelompok pemuda dan mahasiswa Indonesia terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini kemudian dikenal dengan istilah Angkatan '66.

Baca juga: Sejarah Gas Air Mata, Jadi Senjata Sejak Perang Dunia I

Memasuki 1970, kritik terhadap Orde Baru mulai bermunculan. Di antaranya, ada seruan untuk tidak memilih (Golput) pada Pemilu 1972 karena Golkar dinilai curang hingga demonstrasi besar untuk memprotes kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka hingga peristiwa Malari 15 Januari 1974.

Seruan "Turunkan Suharto!" pertama kali terdengar pada 1977. Saat itu, aksi mahasiswa tidak lagi berporos di Jakarta, namun meluas hingga kampus-kampus di Bandung dan Surabaya.

Berbagai aksi ini selalu berhasil digagalkan hingga 1998. Gerakan mahasiswa pada 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Lewat pendudukan gedung DPR/MPR, ribuan mahasiswa memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau