Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerusuhan Wamena, Kenapa Kemarahan karena Hoaks Bisa Sangat Merusak?

Kompas.com - 24/09/2019, 17:03 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

Diberitakan Kompas.com, (23/6/2019), kedua hal ini sudah terjadi sejak zaman dulu. Di masa lalu, ketika manusia berhadapan dengan predator, amigdala akan merangsang rasa takut yang akan mengaktifkan hipotalamus. Hipotalamus berfungsi untuk mengatur kelenjar-kelenjar hormon seperti hipofisis yang merangsang kelenjar adrenal menghasilkan adrenalin, hormon yang mendorong pengaturan energi.

Adrenalin membuat jantung berdetak lebih kencang sehingga persediaan oksigen dalam darah meningkat dan dapat mengubah cadangan glukosa dalam tubuh manusia menjadi energi lebih cepat.

Reaksi dari peristiwa ini bisa dua, lari atau bertarung menghadapi ancaman. Keduanya membutuhkan energi.

Otak kuno manusia masih mengatur cara manusia modern bereaksi terhadap rangsangan yang kita terima, meskipun rangsangan bukan melihat singa berdiri di depannya, tetapi misalnya membaca pesan yang mengancam keyakinannya.

Membaca berita, baik palsu maupun tidak, tetap dapat menghasilkan reaksi lari atau bertarung.

Keputusan otak kita untuk bereaksi lari atau bertarung diambil dalam waktu yang sangat cepat mempertimbangkan keuntungan untuk dirinya, probabilitas keberhasilan, serta risiko.

Karena itulah berada dalam kerumunan biasanya meningkatkan rasa percaya diri untuk bertarung karena meningkatkan probabilitas keberhasilan dan mengurangi resiko keamanan ketimbang melawan sendirian.

Sejauh pengamatan para ahli, kabar hoaks yang paling berpengaruh pada otak adalah yang berkaitan dengan teori konspirasi, mitos kesehatan, dan juga penghinaan SARA.

Efek berbahaya hoaks

Amen dan rekannya Mehmet Oz, MD, mengatakan, kabar bohong dapat memberi efek berbahaya dan mengganggu otak manusia.

Banyak berita hoak membuat respons emosional, membuat seseorang marah dan kesal.

Kabar bohong kerap membuat perasaan tidak enak dan akhirnya memengaruhi penafsiran hingga membuat kita membuat pembenaran atas perasaan negatif karena kabar hoaks tersebut.

Sejumlah studi menemukan, ketika hoaks dicerna otak, hal ini akan terus memengaruhi keyakinan dan tindakan manusia.

Otak tidak memiliki mekanisme yang memungkinkan manusia menghapus suatu kabar.

Bias konfirmasi

Sementara itu, sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa ada bias konfirmasi antara kabar hoaks dan bukan.

Bukti-bukti ilmiah pun telah merangkul bias konfirmasi berita untuk mencerminkan kekuatan prasangka di masyarakat. Terlebih, sebagian besar manusia berasumsi, apa yang kita dengar itulah yang benar.

Sebuah studi mengatakan, banyak informasi salah tersebar di media sosial seperti Facebook.

Ahli menemukan, teori konspirasi dan hoaks mudah tersebar karena manusia cenderung memilih dan membagikan ulasan berdasarkan narasi yang sudah terbentuk sebelumnya.

Selain itu, manusia cenderung bergaul dengan orang-orang yang berpikiran dan memiliki kepentingan sama. Inilah yang makin membuat kabar bohong menggema.

Sumber: Kompas.com/Dhias Suwandi, Ihsanuddin, Yudha Pratomo, John Roy Purba, Shierine Wangsa Wibawa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau