KOMPAS.com – Pekan ini, salah satu topik yang paling banyak mendapat perhatian di Indonesia adalah kerusuhan 22 Mei 2019 di Jakarta.
Aksi tersebut mempertontonkan kekerasan dan kekacauan yang dapat membuat kita merasa takut dan waspada, meski sebenarnya konfrontasi tersebut bukanlah hal yang baru atau langka terjadi.
Lantas, apa sebenarnya yang membuat kita tertarik pada kekerasan, dan juga memiliki kecenderungan untuk berperilaku kasar dan agresif? Apakah manusia memang memiliki insting untuk bertindak demikian secara alamiah?
Jika kita membandingkan dengan hewan, sangat sedikit dari mereka yang menggunakan kekerasan layaknya manusia.
Baca juga: Australia Uji Coba Omega 3 untuk Redam Perilaku Agresif Napi
Beberapa hewan memang dapat berperilaku agresif dan melukai individu lain sebagai bentuk kompetisi untuk memperebutkan pasangan atau makanan, tetapi hal tersebut jarang dilakukan dengan niatan untuk membunuh lawannya, kecuali pada beberapa kasus khusus.
Perbandingan terdekat dengan perilaku kekerasan seperti manusia dapat ditemukan di koloni simpanse.
Ilmuwan telah mengamati bahwa simpanse dapat membentuk kelompok penyergap yang berpatroli di sekitar perbatasan teritorialnya. Kelompok ini terdiri dari pejantan yang secara aktif mencari keberadaan anggota koloni lain yang menyusup ke wilayah mereka.
Jika mendapati penyusup, mereka akan menyerang beramai-ramai, melukai bahkan membunuh individu tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dasar biologis dan evolusioner yang membentuk kecenderungan manusia untuk berbuat kasar dan agresif.
Di sisi lain, menyalahkan aspek biologis semata sebagai faktor utama adalah suatu penyerderhanaan yang salah arah. Jika manusia memang secara alamiah menganggap kekerasan sebagai solusi setiap permasalahan, maka kita seharusnya sudah punah sejak dulu.
Baca juga: 27 Steps of May, Bagaimana Mestinya Hadapi Korban Kekerasan Seksual?
Hal ini menimbulkan pertanyaan lanjutan: Apakah kecenderungan alamiah ini dapat dipicu oleh faktor lain untuk dapat muncul? Apakah perilaku kekerasan dapat dipelajari dan menyebar luas? Apakah relasi sosial menekan atau justru mendorong kekerasan?
Berbagai ahli, baik di bidang psikologi, sosiologi, antropologi, maupun ethologi, berjuang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, tidak ada jawaban sederhana yang dapat memberikan penjelasan yang memuaskan.
Manusia adalah makhluk yang kompleks, di mana ia dapat merencanakan dan merefleksikan suatu tindakan yang belum ia perbuat, serta membayangkan konsekuensi dari hal tersebut. Kita juga dapat mempertanyakan motivasi dari orang lain terkait perilaku yang ia lakukan.
Agaknya, terdapat beragam faktor yang saling berkaitan dan mempengaruhi hingga dapat memicu tindakan kekerasan.
Secara statistik, komunitas yang terdiri dari keluarga dengan kondisi sosio-ekonomi yang tidak stabil memiliki angka kekerasan lebih tinggi. Kondisi ini juga dapat mempengaruhi dan menganggu perkembangan anak, bahkan sebelum ia dilahirkan.
Baca juga: Neurosains Jelaskan Cara Kerja Otak Sulut Kerusuhan 22 Mei 2019