"Kedua, tidak terbukanya (data) lahan konsesi yang terbakar, padahal itu (data) sangat mungkin dibuka, itu akan berdampak pada penegakan hukum," ungkap Wahyu.
Selain berdampak pada penegakan hukum, transparansi data juga akan berdampak pada penganggaran dalam konteks darurat.
"Penyelesaian kerugian lingkungan hidup dan biaya pemulihan lingkungan hidup harusnya diberatkan pada korporasi. Karena kita mengenal norma pertanggungjawaban mutlak dalam Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di mana pemegang konsesi bertanggung jawab penuh," jelas Wahyu.
"Ketidaktegasan pemerintah dalam konsesi, menurut kami, salah satu indikatornya adalah dari 2015 hingga 2018, deposit kemenangan KLHK terhadap beberapa korporasi mencapai Rp 18 triliun, kurang lebih. Tapi sampai sekarang, kami belum mendengar kabar sepeser pun dibayar oleh korporasi. Tidak ada upaya paksa negara untuk melakukan itu," ungkap Wahyu.
Baca juga: KLHK Segel 19 Konsesi Lahan di Kalbar, Ini Sebabnya...
Berdasarkan olahan data WALHI, hingga awal pekan September 2019 tercatat ada lebih dari 3.500 titik panas berada di lahan konsesi. Bila dihitung luasan gambut, setidaknya ada sekitar 8.000 titik panas, kata Wahyu.
"Dari tanggal 8 sampai 12 September saja ada lebih dari 7.000 titik panas (berdasar data WALHI), dan mungkin akan terus bertambah," imbuh Wahyu.
Untuk diketahui, lahan konsesi merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada lahan negara yang disewakan ke badan usaha atau orang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.