KOMPAS.com — Bachruddin Jusuf Habibie adalah sosok pemimpin bangsa yang sangat inspiratif juga genius. Beliau merupakan ilmuwan sekaligus politisi yang sangat mencintai keluarga.
Mengenang Habibie, bukan hanya kisah cintanya dengan Ainun yang membuat kita kagum.
Sejumlah tokoh negeri mengenang presiden ketiga RI sebagai sosok yang berhasil memimpin negeri dalam masa transisi di era Orde Baru ke era Reformasi yang lebih demokratis.
Selain nasionalis yang tak diragukan lagi, kegeniusan Habibie juga diakui dunia, khususnya dalam bidang kedirgantaraan lewat temuan "Crack Progression Theory". Di dunia iptek, para ahli dirgantara mengenal Crack Progression Theory dengan nama Faktor Habibie, Teori Habibie, atau Fungsi Habibie.
Baca juga: BJ Habibie Meninggal, BPPT akan Teruskan Semangatnya Membangun Negeri
Crack Progression Theory dianggap sangat penting dalam dunia dirgantara karena teori ini menjadi solusi dari masalah panjang yang dapat ditimbulkan oleh retaknya bagian sayap dan badan pesawat akibat mengalami guncangan selama take off dan landing.
Tak main-main, Faktor Habibie masih dijadikan pedoman dalam pembuatan pesawat terbang seluruh dunia hingga saat ini.
Berkat temuan pentingnya, Habibie dijuluki Mr Crack.
Dilansir berbagai sumber, pada akhir 1940-an dan 1950-an, teknologi pesawat sudah berkembang. Namun, banyak insinyur tidak sepenuhnya memahami mengapa beberapa pesawat mengalami kegagalan struktural katastrofik dalam penerbangan stabil.
Pada 1960-an pesawat menjadi lebih cepat dan mesinnya lebih kuat. Ketika mesin bekerja terlalu keras, material "kelelahan" dan sering menimbulkan masalah kegagalan struktural.
Maka para ilmuwan pada 1960-an mulai menganalisis apa yang menyebabkan keretakan komponen pesawat dengan lebih detail dan rinci.
Seperti benda lain, pesawat juga bisa pecah dan retak kapan saja. Bisa dikatakan, setiap material cepat atau lambat pasti akan retak, tapi beberapa material cukup kuat untuk waktu lama.
Karena suatu gaya diterapkan pada suatu material, ia mengalami "kelelahan" dan mungkin menyerah setelah beberapa waktu. Itulah sebabnya pesawat memiliki masa hidup tertentu sebelum dinyatakan tidak aman untuk terbang lagi.
Di sinilah Habibie muda muncul. Pria jenius berawakan kecil dari Indonesia yang mendapatkan gelar doktor di bidang kedirgantaraan dari Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachen Jerman pada 1965 memperkenalkan crack progession theory.
Dilansir Tribunnews, julukan Mr Crack disandang Habibie karena keahliannya dalam menghitung crack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang.
Sebelum titik crack bisa dideteksi secara dini, para insinyur mengantispasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatannya (SF).
Caranya, meningkatkan kekuatan bahan konstruksi jauh di atas angka kebutuhan teoretisnya.
Akibatnya, material yang diperlukan lebih berat. Untuk pesawat terbang, material aluminium dikombinasikan dengan baja.
Namun, setelah titik crack bisa dihitung, derajat SF bisa diturunkan, misalnya dengan memilih campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan.
Porsi baja dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. Dalam dunia penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.
Faktor Habibie bisa meringankan operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar) hingga 10 persen dari bobot sebelumnya.
Bahkan, angka penurunan ini bisa mencapai 25 persen setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat.
Faktor Habibie juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat.
Sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas.
Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat.
Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatigue menjadi turun.
Baca juga: BJ Habibie Meninggal, Mengenang Visi Indonesia Punya Pesawat Sendiri
Visi dirgantara Indonesia baru berlanjut pada 2017 dengan berhasilnya uji terbang pesawat N-219, sebuah pesawat kecil dengan kapasitas tak lebih dari 19 orang di dalam kabin.
Melihat keberhasilan ini, Habibie pun menitipkan harapannya pada proyek pesawat R80.
Habibie pernah mengatakan bahwa bila industri dirgantara hendak berjaya, Indonesia harus membangun pesawat berkapasitas 80-90 orang.
R80 ini mampu mengangkut 80-90 penumpang dengan kecepatan maksimal 611 kilometer per jam dan kecepatan ekonomis 537 kilometer per jam.
Sekali melesat, pesawat ini juga mampu menjangkau 1.480 kilometer.
Jika sesuai rencana, R80 akan mengudara pada 2025 dan bersamanya, harapan Habibie akan kejayaan industri dirgantara Indonesia akan mengudara.
Selamat terbang eyang Habibie, selamat bertemu ibu Ainun di keabadian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.