KOMPAS.com - Biosimilar Trastuzumab, berpotensi menjadi alternatif obat dengan kualitas baik dan harga terjangkau bagi pasien kanker payudara HER2-positif.
Hal ini karena pengobatan kanker payudara HER2-positif terbilang mahal. Pasalnya, untuk sekali terapi pasien harus mengeluarkan anggaran berkisar Rp 20 sampai 25 juta.
Namun, apa itu obat biosimilar?
Obat biosimilar merupakan obat-obatan yang menyerupai dan setara secara klinis dengan obat-obatan biologis kompleks yang disetujui penggunaanya untuk penyakit serius dan mengancam nyawa, termasuk imunologi, gastroenterologi, dan onkologi.
Baca juga: Tantangan Pengobatan Kanker Payudara HER2-positif di Indonesia
Obat biosimilar pada dasarnya berbeda dengan obat generik.
Memang, pada dasarnya bentuk obat biosimilar mirip dengan generik, tapi kandungan di dalam obat biosimilar menyerupai obat asli. Kalau dalam hal ini, obat biosimilar trastuzumab mirip dengan obat traztuzumab.
Bisa dikatakan, obat biosimilar merupakan obat asli dengan harga lebih terjangkau. Bahkan terkadang harganya sekitar 0,04 persen dari harga obat asli.
Dr Farida Briani Sobri Sp B Onk, seorang dokter spesialis onkologi juga percaya bahwa biosimilar trastuzumab mampu menjadi alternatif. Apalagi kini ada pelarangan obat trastuzumab oleh pemerintah karena harga obat tersebut mahal dan sulit terjangkau, juga tak lagi ditanggung BPJS.
Farida mengatakan, negara Indonesia seharusnya bisa belajar dari India. Pasalnya, India yang juga merupakan negara berkembang itu kini tengah memegang kedudukan dalam pasar farmasi global.
Bahkan, telah ada prediksi bahwa India akan menjadi pasar terbesar keenam untuk farmasi pada tahun 2020.
India mengekspor produk farmasi bernilai lebih dari 17 miliar dolar pada tahun 2017-2018.
Perusahaan farmasi India utamanya dikenal sebagai produsen obat generik, tiruan identik dari obat bermerek yang dipasarkan dalam berbagai nama setelah hak paten obat aslinya telah habis.
Di Negara India, Farida juga mengatakan bahwa perusahaan farmasi dan medis mendapatkan dukungan yang optimal dari pemberi kebijakan atau birokrat pemerintahannya.
"Sementara di Indonesia, bahkan saya kenal juga orangnya, yang sedang berusaha membuat biosimilar trastuzumab ini, tapi ya itu kurang dukungan secara aplikatifnya, masih hanya sebatas omongan saja dukungan itu," tukas Farida.
Dijelaskannya, salah satu bagian yang sulit terealisasikan yaitu, untuk mendapatkan hak paten biosimilar trastuzumab tersebut.